SEKAPUR SIRIH
Bekerja dari pagi sampai petang di kantor? Itu sudah kuno, karena sekarang banyak orang yang mengerjakan bisnis cukup dari rumah tanpa harus repot-repot menembus kemacetan lalu lintas ke kantor. Cukup dengan seperangkat komputer, secangkir kopi dan segudang keahlian, Anda bisa menjadi juragan tanpa kantor.
: : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : :

Bisnis Rumahan

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 02/Februari 2009)

Dua kakak beradik, Icha dan Dina memproduksi sepatu kanvas lukis. Produk bisnis rumahan ini kebanyakan dipasarkan lewat online di blog www.sepatukanvaslukis.blogspotcom dan www.sepatulukis.com

Kuliah di Bandung sementara rumah di Jakarta, agaknya tak menghalangi Nerissa Arviana (Icha) terus menekuni bisnisnya. Maklum, dara yang masih kuliah di School of Business and Management ITB ini belum setahun membangun bisnisnya, memproduksi sepatu kanvas lukis. Di tahun pertama usahanya itu, Icha mengaku dirinya harus mengurusi customer follow up order, melakukan transaksi, dan mengurus keuangan. Sedangkan Nabila Irvani (Dina), partner bisnis yang juga adik kandungnya kebagian tugas mengurusi tampilan blog dan website, desain produk, dan alat-alat promosi, seperti flyer, spanduk.

“Kebetulan saat ini usaha saya sedang banyak pesanan, khususnya dari luar Jakarta. Ada pesanan dari Malang, Surabaya, Aceh, Medan, Batam, Samarinda, Makasar dan lain-lain. Ada juga dari Papua. Soalnya di sana kami belum punya akses jual langsung, makanya kebanyakan memesan lewat internet,” papar dara kelahiran 24 Juli 1988 ini kepada DUIT!.

Menjual lewat internet memang cara yang dipilih Icha sejak awal. Dari semula, anak pasangan Irvan Jusuf (pengusaha) dan Chandra Nursida (aktif di bisnis MLM dan asuransi) ini ingin mengikuti jejak kedua orang tuanya, punya bisnis sendiri. “Saya ingin bikin produk yang berbeda dengan yang lain, sesuatu yang unik. Kebetulan, adik saya Dina jago banget gambar. Lalu, kenapa tidak kami memproduksi sepatu kanvas lukis saja?,” kata Icha lagi.

Sebagai uji coba, mereka membuat satu pasang produk dulu. Sepatu yang mereka beli di sebuah toko sepatu itu lalu dilukis memakai cat acrylic. Icha lalu membawanya ke kampus. Respon teman-temannya cukup bagus. Beberapa teman minta dibuatkan dengan desain yang mereka pesan sendiri. Dari sinilah Icha mulai serius memfokuskan bisnisnya ke produk alas kaki ini.

Bermodal Rp4 jutaan, yang antara lain untuk membeli puluhan pasang sepatu kanvas putih polos, alat-alat lukis dan merekrut satu pelukis, dia mulai memproduksi sepatu kanvas lukis ini di rumahnya, kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur.

Untuk memasarkannya, Icha memanfaatkan internet. Lewat blog-nya yang diberi nama www.sepatukanvaslukis.blogspot.com Icha mulai mempromosikan produk ke seantero jagad maya. “Kenapa saya pakai sarana internet? Selain murah investasinya, marketnya lebih luas ketimbang jual langsung,” tuturnya.

Tak dinyana, di dunia maya ini pun respon konsumen luar biasa. Pemasannya tak hanya datang dari Jabodetabek, tapi juga dari Jawa bagian Timur, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Pemesanan biasanya dalam partai besar.

Pengiriman Sempat Diragukan

Menjual lewat internet, dimana penjual dan pembeli tak bertemu secara fisik, tentu punya kendala. “Kendala utama adalah soal kepercayaan. Banyak orang bertanya, barang yang dipesan dikirim nggak ya? Barangnya sesuai dengan yang dipesan nggak ya? Alhamdulillah, kami bisa meyakinkan mereka karena kami selalu berusaha menjaga kualitas dan ketepatan waktu pengiriman,” kata Icha yang memakai jasa perusahaan kurir lokal ternama untuk pengiriman.

“Untuk saling menjaga kepercayaan itu juga, biasanya kami minta uang panjar dulu 50%, terutama untuk konsumen baru,” tambah anak kedua dari lima bersaudara ini.
Di luar pemasaran lewat internet, Icha juga sesekali melakukan penjualan langsung, khususnya ke teman-teman. Rencananya, dia ingin juga menawarkan produknya lewat pameran dan membuka toko di rumah. Dia juga segera meluncurkan situs produknya di www.sepatulukis.com.

Dibantu 7 tenaga lukis yang dia rekrut dari warga sekitar rumahnya, sampai saat ini Icha sudah melepas 250 pasang sepatu ke pemesan. Dalam seminggu, produk buatannya bisa mencapai 20-an pasang atau sekitar 80-100 pasang/bulan. Omzetnya diperkirakan sudah mencapai angkar Rp18 juta-Rp20 juta sebulan. Produknya sendiri dilepas dengan harga antara Rp110 ribu-Rp130 ribu, tergantung ukuran dan desainnya. Semakin rumit desain, tentu semakin mahal. Ukuran yang disediakan mulai dari nomor 31 hingga nomor 43. Oh ya, selain menawarkan dengan desain yang dibuatnya, Icha juga mempersilakan konsumennya memesan dengan desain yang mereka buat sendiri.

“Alhamdulillah, modal awal Rp4 jutaan di Juli 2008 lalu hasil pinjaman dari orang tua, sudah balik modal. Sekarang tinggal putar-putar uang dari keuntungan saja, belum mau pinjam dari pihak ketiga atau bank. Barangkali kalau usaha ini tambah membesar, bolehlah cari dana dari bank,” katanya sambil tersenyum ramah.

Di luar sepatu kanvas lukis funky buatannya, dua bersaudari ini berniat memproduksi kaos dan tas lukis. “Hitung-hitung bisnis ini mempraktekan teori yang saya dapat di bangku kuliah. Jadi, selepas kuliah saya tak perlu mencari kerja, tapi justru mencari pekerja lagi,” kata Icha yakin. Semoga. $ AGUSTAMAN

Baca Selengkapnya..

Peluang Bisnis yang Halal dan Berkah

Diposting oleh Agustaman | 12.00 | 5 komentar »

(Artikel ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 02/III/Februari 2008)

Lautan Lestari (Lestari Books) menawarkan peluang menjadi agen pemasaran kitab Al Qur'an Tajwid Berwarna. Produk yang di mancanegara telah terjual jutaan eksemplar ini merupakan karya inovatif dan fenomenal karena memudahkan setiap muslim membacanya dengan baik dan benar.

Buat umat muslim, membaca kitab suci Al Qur'an hukumnya adalah wajib. Menurut para ulama, membaca Qur'an dengan niat iklas dan maksud baik adalah suatu ibadah yang karenanya seorang muslim mendapatkan pahala. Namun, seorang muslim tak hanya dituntut membaca Qur'an saja. Dia juga wajib mengetahui ketentuan-ketentuan tajwid (Tajwidul Qur'an yang didefinisikan sebagai :”memberikan kepada huruf akan hak-hak dan tertibnya”) guna melafazhkan ayat-ayat Al Qur'an sesuai dengan aturan bacaan yang semestinya. Sehingga kita dapat membaca Al Qur'an dengan baik dan benar.
Saat ini, sudah banyak produk atau alat peraga untuk memudahkan orang membaca Qur'an dengan baik dan benar beredar di pasaran, misalnya produk Al Qur'an digital. Ini belum termasuk jutaan mushaf Al Qur'an yang dicetak setiap tahunnya dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.
Belakangan juga hadir Al-Qur'an ku, suatu mushaf Al Qur'an dengan metode inovatif sebagai penuntun membaca Qur'an dengan baik dan benar. Inovatif, karena dibuat dengan tuntunan tajwid yang dipermudah menggunakan kode blok warna, dilengkapi dengan penjelasan ketentuan-ketentuan tajwid dalam bahasa Indonesia (huruf latin) yang mudah dipahami.
Kode-kode blok warna yang ditampilkan dalam mushaf Al Qur'an ini ditampilkan supaya mempermudah pembaca agar lebih memperhatikan tekanan, fonetik, irama serta cara membaca Al Qur'an dengan semestinya (misalnya mendengung, menyengau, atau memanatul). Pasalnya, ini seringkali diabaikan oleh pembaca yang kurang mengerti, terutama para pemula. Dalam Al Qur'an tersebut terdapat tujuh warna tertentu untuk mengingatkan pembaca tentang lafadz tertentu. Blok huruf biru muda misalnya, untuk menandakan ketentuan ikhfa, coklat tua (qolqolah), hijau muda (idgham Bighunnah), dan sebagainya.
Mushaf Al Qur'an Tajwid Berwarna ini (ukuran dimensi 18,5 x 13 x 4,5 cm) sebenarnya sudah diluncurkan di Indonesia sejak 30 Juli 2006, bersamaan dengan kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) Nasional ke XXI di Kendari, Sulawesi Tenggara. Adalah Lautan Lestari (Lestari Books) yang mendapatkan hak sebagai distributor tunggal untuk wilayah pemasaran Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei.
“Terciptanya penerbitan mushaf Al Qur'an dengan metode pemberian kode warna yang diblok pada huruf ayat-ayat Qur'an ini merupakan karya inovatif tiga bersaudara, Abdus Sami, Abdul Naeem dan Abdul Moin dari India yang memang telah lama bergelut dalam bidang penerbitan buku-buku Islam,” papar Sumarsono, General Manager Lestari Books kepada DUIT!


Menurut Sumarsono, produk mereka bertiga diilhami dari aturan lampu lalu lintas yang bersifat universal, dimana warna merah berarti harus harus berhenti, warna kuning bersiap jalan dan hijau, silakan jalan. Sistem traffic light itulah yang kemudian diadopsi ke dalam tuntunan bagi kemudahan umat Islam membaca Al Qur'an dengan benar dan baik. “Setelah melalui proses pemikiran panjang, akhirnya pada 4 Januari 2002, karya inovatif ini dipublikasikan pada umat Islam ke seluruh dunia,”jelas Sumarsono lagi.
Tak hanya Al Qur'an tajwid berwarna yang dipasarkan Lestari Books, tapi juga Juz 'Amma dengan tajwid kode blok warna, dilengkapi terjemahan. “Juz 'Amma ku” ini berukuran dimensi 18,6 x 24,6 cm dengan kertas art paper. Bahkan, direncanakan mushaf Al Qur'an yang akan dicetak akan dilengkapi terjemahan dengan huruf latin.

Tawarkan Keagenan
Lestari Books awalnya bergerak pada pengadaan buku-buku anak, seperti pendidikan moral, cerita, aktifitas dan kegiatan untuk anak pra sekolah. Namun, seiring berjalannya waktu buku-buku yang dipasarkan tersebut tak bisa bersaing dengan produk sejenis yang pemainnya juga tidak sedikit. Hingga pada suatu saat, sang pemilik, Dalpat Mirchandani mengubah orientasinya dengan memasarkan produk buku-buku Islam, termasuk Al Qur'an tajwid berwarna buatan India.
Sebagai pemegang hak cipta untuk wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei, Lestari Books sampai saat ini sudah berhasil memasarkan rata-rata limaribu eksemplar setiap bulannya lewat sistem direct selling. “Direct selling artinya kami menawarkan langsung ke konsumen dan mereka langsung membayar, tak ada konsinyasi. Sampai sekarang, kami tidak menaruh produk ini di toko-toko buku. Mushaf Al Qur'an tajwid berwarna ini justru banyak dipasarkan oleh ibu-ibu pengajian,” papar Sumarsono.
Soal pemasaran oleh ibu-ibu yang kebanyakan tergabung dalam kelompok pengajian ini, Sumarsono punya cerita. “Secara resmi Qur'an ini memang diluncurkan pada MTQ di Kendari tahun 2006. Tapi kami mulai memasarkan secara intensif pada Februari 2007 lewat ajang pameran Islamic Book Fair di Jakarta. Banyak orang tertarik dan membeli, bahkan ada satu orang ibu dari kelompok pengajian datang sendiri ke kantor yang waktu itu masih di Jl. Talang Betutu. Dia membeli lebih dari satu eksemplar, katanya buat dijual kembali,” kisah pria 62 tahun ini.
Si ibu tadi kembali lagi untuk membeli produk sejenis karena jualannya sudah habis. Rupanya, langkah sang ibu tadi diikuti oleh ibu-ibu pengajian lainnya. Begitu seterusnya, sehingga tercetuslah ide menawarkan pola keagenan di seluruh Indonesia terutama untuk melakukan direct selling.
“Kami menawarkan kepada semua orang untuk menjadi agen pemasaran produk tersebut. Sedangkan sistem yang kami kehendaki agar perputaran cash flow perusahaan secara tepat dan sehat, kami mengharapkan pembayaran cash dimuka dengan pemberian diskon sesuai pengambilan yang dilakukan,” ujar Sumarsono sambil mengatakan pihaknya juga rajin menawarkan produknya lewat ajang pameran buku Islam.
Keagenan itu sendiri dibagi tiga, yakni agen platinum, agen gold dan agen silver. Masing-masing kriteria agen tadi punya hak dan kewajiban yang hampir sama. Perbedaannya hanya pada hak mendapatkan diskon, jumlah banner dan flyer yang didapat dan pada kewajiban pengambilan produk (lihat boks di bawah).
Menurut Sumarsono, dengan angka 5.000 ekslempar Al Qur'an tajwid berwarna terjual setiap bulan, pihaknya yakin produk ini masih punya pangsa pasar yang masih luas. Ditambah lagi fakta bahwa penduduk Indonesia mayoritas muslim, dan sebagian besar masih belum “baik dan benar” dalam membaca ayat-ayat suci Qur'an, produk mushaf Al Qur'an tajwid berwarna ini bisa menjadi peluang bisnis yang halal dan berkah. $ AGUSTAMAN

Baca Selengkapnya..

Biar Anak Tidak Malas Pakai Handuk

Diposting oleh Agustaman | 14.19 | 1 komentar »

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT edisi 12/III/Desember 2009)

Sebelum menciptakan baju handuk, Miswati 'Iwa” Dusni sebenarnya sudah memproduksi sprei, mukena, kaos dan handuk aplikasi dan bordir. Kini produk baju handuk jadi primadonanya.

Sudah kesekian kalinya selepas mandi Bobby (10) malas memakai handuknya. Tanpa malu dilihat kakak dan dua adiknya, bocah bertubuh gempal ini berjalan santai dari kamar mandi ke kamar tidurnya tanpa handuk menutupi tubuhnya. Terang saja kondisi ini membuat “gerah” sang ibu, Miswati Dusni. Padahal, kata perempuan yang biasa disapa Iwa ini dirinya dibiasakan disiplin oleh orang tuanya. Ia ingin anaknya juga melakukan hal yang sama.

Berawal dari situlah Iwa berkreasi menciptakan handuk yang dijahit menyerupai baju, lalu diberi lubang untuk tempat memasukkan kepala. Di bagian depan, handuk diberi aplikasi kain serta tambahan sulam bordir. Tujuannya, supaya anaknya tidak malas lagi memakai handuk sehabis mandi. Kreasinya, diakui Iwa tersinspirasi oleh baju tokoh Batman yang pernah dia pakai sewaktu kecil dulu.

Kreasinya ternyata tak hanya disukai keempat anaknya, tapi juga beberapa orang pengunjung di Galeri UKM Cilandak Town Square (Citos), Jakarta. Sebelum menciptakan baju handuk (Januari 2008), Iwa memang sudah membuka stand kecil di Citos sejak 2006 silam yang disewanya seharga Rp2 juta. Di Citos awalnya Iwa menjajakan handuk dengan motif aplikasi bordir, sprei, mukena bordir dan sulam serta kaos aplikasi. Ada juga handuk model kimono anak untuk menutupi badan sehabis berenang.

“Nah, waktu saya taruh kreasi baru baju handuk, ternyata banyak yang suka dan memesan dengan motif aplikasi yang mereka mau. Ada juga yang minta baju handuk pakai tutup kepala. Ternyata yang pakai tutup kepala ini paling laku. Makanya, saya banyak memproduksi baju handuk pakai tutup kepala,” cerita perempuan yang memulai bisnis rumahannya pasca krisis moneter.

Baju handuk buatannya semula dia produksi untuk kalangan anak-anak saja. Tapi ternyata banyak orang-orang dewasa tertarik memilikinya. Tentu saja untuk ukuran dewasa, Iwa membutuhkan lebih dari satu bahan handuk. Untuk pasokan bahan handuknya, dia membelinya dari pedagang grosir di kawasan Mangga Dua, Jakarta.

Awalnya, Iwa hanya membuat baju handuk dengan satu bahan handuk. Tapi lantaran banyak konsumennya di Jakarta mengeluhkan kualitas kain handuk, akhirnya ia membuat baju handuk dengan kualitas berbeda. Kualitas handuk yang lebih lembut dia pasarkan untuk wilayah Jakarta dan untuk pasar daerah yang memilih harga lebih murah, Iwa membuat kualitas yang tidak jauh beda.

Harga jual yang dipatok bervariasi, mulai dari Rp90 ribu sampai Rp125 ribu (baju handuk tanpa topi) dan Rp125 ribu sampai Rp250 ribu (baju handuk pakai topi). Iwa menjualnya secara eceran dan grosiran. Untuk grosiran, dia memberi diskon 25% dari harga jual kepada pembelinya. Pembelian grosir minimal satu lusin.

“Saya sih maunya produk ini bisa terjangkau kelas menengah bawah. Tapi agak susah kalau saya patok harga dibawah Rp50 ribu karena beli bahan bakunya bisa lebih dari segitu,” papar alumnus Teknik Sipil ISTN, Jakarta angkatan 1983 sembari mengatakan banyak pelanggannya, terutama ibu-ibu yang memesan produk baju handuk untuk dijual kembali. “Tapi saat ini belum bisa dipenuhi semuanya, karena tenaga kerjanya belum banyak,” sambung Iwa yang sudah banyak memiliki pelanggan dari luar Jakarta, seperti Kudus, Purwerejo, Surabaya, Samarinda dan Makasar.

Saat ini Iwa mempekerjakan dua karyawan pria untuk mengerjakan bordir. Pekerjaan jahitan, dia serahkan ke temannya yang tukang jahit, sementara untuk aplikasi (dengan kain katun, dijahit tusuk feston) masih dikerjakan Iwa sendiri. Padahal dulunya dia mengaku tak suka dengan jarum dan benang jahit. “Tapi begitu terjun ke usaha ini, mau nggak mau harus belajar sendiri cara menjahit baju karena terkadang saya tidak puas melihat hasil jahitan orang lain,” ujarnya sembari tertawa.

Dua karyawan bordir yang berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat tadi dibayar dengan cara borongan. Mereka, kata Iwa, bisa menerima upah bersih Rp300 ribu-Rp400 ribu per minggu, karena makan dan tempat tinggal sudah disediakan Iwa di rumahnya, kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.

Tak Gentar Produk Ditiru

Dengan tiga tenaga kerja (termasuk dirinya) Iwa bisa memproduksi 20 potong baju handuk per hari. Omzetnya diperkirakan antara Rp10 juta sampai Rp15 juta per bulan dengan keuntungan bersih antara 35% sampai 40%.

“Maunya tambah satu karyawan untuk aplikasi, tapi belum dapat orangnya. Karena mulai dari melukis sampai menjahit adalah pekerjaan tangan yang butuh keterampilan tersendiri,” terang Iwa yang menamai usahanya dengan nama “Rakita”.

Bagaimana dengan produk di luar baju handuk? Menurut Iwea, karena saat ini pesanan lebih banyak ke baju handuk, dia akan fokus dulu di produk tersebut. Sedangkan produk yang lain, meski masih diproduksi jumlahnya tak sebanyak baju handuk. Produk mukena dengan aplikasi dan bordir misalnya, jumlahnya paling sedikit karena penjualan produk ini biasanya musimam alias tidak setiap hari. Harganya pun tidak murah, Rp175 ribu sampai Rp225 ribu untuk mukena anak dan Rp250 ribu-Rp700 ribu buat dewasa.

“Modal saya juga belum banyak. Dulu waktu pertama kali memulai modalnya hanya Rp4 juta di luar sewa tempat di Citos. Dari keuntungan awal tadi diputar terus sampai sekarang termasuk untuk membeli dua mesin jahit bordir. Tidak ada dana dari pihak ketiga,” papar perempuan kelahiran Bukittinggi 44 tahun lalu ini.

Soal produknya yang mudah ditiru orang, tak membuatnya khawatir. Dengan kreativitas dan kualitas bordir yang bagus, ia yakin produknya masih jauh lebih berkualitas ketimbang penirunya.

Iwa sendiri awalnya adalah profesional di sebuah perusahaan konsultan kontraktor yang dibangun bersama teman-teman kuliahnya selepas lulus dari ISTN. Karena kelahiran anaknya, Iwa akhirnya menundurkan diri dari perusahaan tersebut.

Pasca melahirkan, Iwa membuka sendiri usaha desain interior. Sayang, badai krisis moneter 1998 menghempaskan usahanya. Iwa dibantu sang suami mulai bangkit lagi tahun 2002 dengan berdagang pakaian. Dari usaha inilah Iwa mulai berkreasi menciptakan produk fashion lainnya, mulai dari kaos, mukena sampai handuk aplikasi/bordir. Dan kini baju handuk menjadi promadona produknya.

“Pada pemeran Nova Fair akhir November lalu, baju handuk saya banyak terjual. Semoga rezeki itu tambah lagi di penjualan-penjualan berikutnya,” harap Iwa. Ya, semoga harapan itu terkabul. $ AGUSTAMAN

Baca Selengkapnya..

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 11/November 2008)

BOOK ADVISOR PELANGI MIZAN
Pelangi Mizan Publisher, penerbit buku dari Bandung menawarkan peluang menjadi distributor bukunya (book advisor). Penghasilannya bisa jutaan rupiah per bulan

Buku adalah gudang ilmu, membaca adalah kuncinya. Buku adalah jendela dunia. Pepatah ini tentu tak asing di telinga kita. Lewat buku kita bisa mengetahui sisi lain dari dunia di luar kita. Membuat kita bisa mengetahui apa yang sebelumnya tidak kita ketahui.
Sayangnya minat baca orang Indonesia terbilang rendah dibanding orang-orang Asia lainnya. Data UNDP beberapa tahun yang lalu menunjukan skor minat baca orang Indonesia ternyata masih dibawah Thailand bahkan Filipina. Salah satu faktor bisa jadi karena harga buku di Indonesia yang relatif mahal.

Rendahnya minat baca tadi dan mahalnya harga buku nampaknya menjadi dua hal yang dipakai penerbit Pelangi Mizan Publisher untuk memasarkan buku terbitannya. Sebagai bagian dari anak bangsa, penerbit dari Bandung ini ingin masyarakat Indonesia gemar membaca. Namun, dengan buku yang berharga premium, dari Rp1 juta sampai Rp3 jutaan, bagaimana anak usaha grup Mizan ini bisa menjual buku-bukunya?

“Buku kami memang berharga premium. Kalau buku seharga ini disimpan di toko buku nggak akan ada orang beli. Belum apa-apa mereka takut, karena begitu banyak buku yang jauh lebih murah ditawarkan di toko buku. Dan jarang orang bawa uang segitu ke toko buku. Kalaupun bawa (uang), mereka secara mental tidak siap mengeluarkan uang untuk beli buku semahal itu,” jawab Irfan Amalee, CEO Pelangi Mizan kepada DUIT!



Soal alasan mengapa harga bukunya terbilang mahal, Irfan berkilah karena bukunya mengandun konsep yang “Harus Dijelaskan”. “Buku kami bukan buku bacaan biasa, yang dibaca, dimengerti setelah itu disimpan, selesai. Tapi merupakan buku referensial yang orang harus mengerti konsepnya, benefitnya, lalu mereka bisa gunakan sebagai referensi yang timeless. tidak sekali baca selesai. agar calon pembeli faham,” kata pria lulusan IAIN ini.
Maka, sambungnya, harus ada proses penjelasan dari para distributor Mizan atau yang disebut book advisor. Setelah si calon konsumen faham, maka dia akan menjadi yakin mengapa dia harus membeli buku itu dengan harga premium.

Dengan visi membuat buku untuk long life learning program, Pelangi menjual buku dalam satu unit yang terdiri dari rangkaian berseri berjumlah 12-24 buku, dilengkapi dengan CD dan sejumlah permainan. Isi bukunya didasarkan kebutuhan orangtua dan anak untuk menciptakan keluarga damai dan bahagia, seperti Ensiklopedi Bocah Muslim, I Love My Quran, Nabiku Idolaku, Halo Balita dan Cerita Binatang. Sekarang baru tersedia 8 judul. Satu judul ada yang terdiri dari 15 jilid, ada juga yang 26 jilid. Target market buku aini adalah keluarga muslim muda yang sekarang segmen itu sedang tumbuh menjadi kelas terpelajar, secara konomi mulai mapan, uang punya, pengetahuan ada.

Penghasilan BA Jutaan
Untuk memasarkan buku terbitannya, Pelangi memakai tenaga pemasar yang disebut book advisor (BA) Saat ini tercatat 500 BA Pelangi yang tersebar di berbagai tempat, mulai dari Surabaya, Malang, Jogja, Solo, Bandung, Jakarta, Lampung, Palembang, Medan hingga Makasar.
Menurut Irfan, 90% distributornya adalah para ibu rumah tangga. Mereka dilatih soal produck knowledge, fitur dan benefit buku. “Dan lebih penting dari itu, marketing kami sebelum menawarkan buku , mereka harus membuka wawasan calon pembeli tentang pentingnya pendidikan keluarga, pentingnya menumbuhkan minat baca sejak dini. Jadi mereka seperti konsultan buku atau pendidikan, karena itu kami menyebut mereka buka book seller atau book advisor,” jelas peraih The International Young Creative Entrepreneur (IYCE) Award 2008 dari British Council ini.

Pola pemasarannya memakai direct selling. Kebanyakan mereka langsung presentasi di depan prospek, atau melalui seminar, atau miniseminar. Ada juga yang menggunakan internet sebagai alat penawaran, yang.intinya bisa menjelaskan tentang fitur dan benefit produk tersebut.
Berapa keuntungan atau komisi yang didapat? Pelangi mematok komisi 10% dari setiap menjual satu set buku. Pendapatan dari tiap BA bervariasi. Sebagai ilustrasi, jika mereka dapat menjual satu set buku, komisi mereka sekitar Rp300 ribu, kalau mereka menjual 10 set dalam sebulan penghasilan mereka Rp3 juta. Bahkan ada yang pernah mendapat Rp14juta dalam satu bulan. “Ada yang melalui internet, bisa meraih penghasilan Rp6 juta per bulan, hanya dengan duduk di depan komputer,” terang Irfan.

Informasi tambahan, Pelangi Mizan saat ini masuk ke penerbitan buku-buku pengayaan pendidikan yang sifatnya direct seling tapi bukunya murah. “Tapi kami mengandalkan dari kuantitas penjualannya. misalnya buku pendidikan perdamaian yang hingga kini sudah digunakan oleh lebih dari 15.000 siswa di Aceh, Jawa Barat, Kalimantan dan Sulawesi. Buku peace generation ini sudah dipresentasikan di Budapest Hungaria, dan akan digunakan juga di beberapa negara muslim seperti Pakistasn, Bosnia, Palestina, Moro Filipina,” tandas Irfan IYC 2008 karena dianggap berhasil mengemas sesuatu yang berat, yaitu pendidikan perdamaian. $ AGUSTAMAN

Baca Selengkapnya..

Penyakit Hilang Duitpun Datang

Diposting oleh Agustaman | 15.21 | 10 komentar »

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 10/Oktober 2008)

PUSAT KESEHATAN CERAGEM

Dengan sistem pemasarannya yang unik, Ceragem, perusahaan alat kesahatan asal Korea Selatan menawarkan peluang menjadi dealer yang membuka Ceragem Center. Perorangan juga bisa membuka Rumah Ceragem hanya dengan membeli minimal satu alat kesehatan Ceragem.

Matahari pagi baru saja menampakkan sinarnya. Tapi beberapa orang yang kebanyakan pria dan perempuan paro baya sudah mengantri dengan rapi di depan pintu gerbang rumah bernomor 10 di Jl. Kramat IV, Jakarta Pusat. Sekitar pukul 07.00 pagi antrian tersebut akan mengular panjang, bisa mencapai 100 meter. Dalam satu hari, tempat itu dikunjungi tak kurang dari 600 orang. Pemandangan seperti ini hampir setiap hari bisa ditemui di tempat itu dan beberapa Ceragem Center lainnya.

Mereka bukan antri sembako atau untuk mendapatkan BLT (bantuan langsung tunai). Mereka umumnya adalah orang-orang yang menderita berbagai penyakit, mulai dari alergi, asam urat, sampai gangguan reproduksi dan berbagai keluhan penyakit lainnya. Mereka berharap, lewat alat terapi kesehatan yang terdapat di tempat yang disebut sebagai Ceragem Center tersebut, penyakitnya berangsur hilang dan sembuh. Apalagi pengobatan yang mereka lakukan gratis alias tidak bayar.

Menggratiskan pemakaian alat kesehatan yang bernama Ceragem Compact CGM-P390 memang strategi unik yang dilakukan Ceragem di seluruh dunia, termasuk Indonesia. “Kami memang tidak memungut biaya buat yang datang ke sini. Kami ingin mereka yang datang merasakan manfaat yang besar dari alat kesehatan Ceragem. Mereka boleh datang setiap hari ke sini, kecuali Minggu, sampai sembuh,” papar Tara Wahyuni, Ceragem Salemba Center Manager kepada DUIT!

Imelda Sutrisna, Public Relation Team Head PT Inni Ceragem mengiyakan ucapan Tara. Katanya, Ceragem adalah satu-satunya perusahaan di dunia yang memasarkan produk dengan cara unik. Uniknya, selain gratis memakai alat terapi kesehatan tadi juga pelayanannya yang ramah oleh para staf Ceragem Center di seluruh dunia. Sapaan akrab dan kekeluargaan dari para staf akan kita temui di setiap center. “Ceragem ingin semua orang mencoba alat kesehatan yang bisa menolong orang menyembuhkan semua penyakit ini. Kami memang ingin semua orang hidup sehat. Dan semua itu melalui proses. Bila kesadaran akan kesehatan itu sudah melekat di diri orang yang bersangkutan, suatu saat mereka akan membeli sendiri alat tersebut dan memakainya di rumah,” terang Imelda.

Sebagai informasi, Ceragem adalah perusahaan alat kesehatan keluarga terkemuka di dunia, yang berasal dari Korea Selatan sejak tahun 1998. Perusahaan yang semula bernama Industri Kesehatan Samsung ini mulai memasarkan produknya ke pasaran internasional yaitu Amerika Serikat pada bulan Oktober 1999. Hingga saat ini Ceragem telah hadir di 5 benua dan 6 daratan, lebih di 59 negara dan telah memiliki sekitar 2500 Center di dunia, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, distributor tunggal alat ini dipegang oleh PT Inni Ceragem. Saat ini sudah ada 89 Ceragem Center yang tersebar di seluruh Indonesia dan Head Office yang berada di Jakarta dan 3 Regional Head Office di Surabaya, Medan dan Semarang. “Kami bertekad untuk membuka 150 center di tahun 2008 ini dan total 1.000 center yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia, sehingga kami dapat mewujudkan tujuan kami untuk menyehatkan seluruh masyarakat Indonesia,” sambung Imelda lagi.

Buka Center atau Rumah Ceragem?

Untuk pembukaan Ceragem Center, PT Inni Ceragem menawarkan peluang bagi para investor yang ingin merasakan kualitas alat kesehatan Ceragem Compact sekaligus merasakan manfaat bisnisnya. Syaratnya cukup mudah. Pertama, menyediakan tempat atau lokasi yang bakal dipakai sebagai center. Center bisa berupa bangunan rumah berukuran 300 m2 atau ruko minimal 2 lantai (ukuran 8 m x 16 m atau 5 m x 16 m). Lokasi harus strategis, artinya mudah dijangkau dari mana saja dan kalau bisa di dekat pemukiman padat penduduk.

Syarat kedua, menyiapkan sumber daya manusianya (SDM) yang nantinya akan di-training di kantor pusat selama 2 minggu sebulan sebelum hari pembukaan center. Untuk satu center, SDM yang dibutuhkan sekitar 10 orang dengan satu orang di dalamnya sebagai center manager.

Ketiga, menyiapkan investasi sekitar Rp300 juta sampai Rp500 juta. Uang segitu sudah termasuk sewa rumah, penyediaan semua keperluan center (furnitur, tempat tidur/bed, alat presentasi, dll) termasuk juga gaji karyawan (10 staf) untuk satu bulan pertama.

Bagaimana sebuah center bisa mendapatkan keuntungan kalau semua orang yang datang memakai alat kesehatan tersebut tidak membayar? “Kami memang tidak secara terang-terangan atau memaksa orang untuk membeli alat ini. Bila kesadaran mereka yang datang tumbuh bahwa menjaga kesehatan itu lebih penting ketimbang mengobati, lambat laun mereka akan berusaha membeli alat ini. Sudah banyak tamu center Salemba ini yang akhirnya membeli alat tersebut dan bahkan membuka Rumah Ceragem di tempat tinggalnya,” jawab Tara yang center-nya bisa menjual 135-an Ceragem Compact selama 11 bulan center itu beroperasi di Kramat IV.

Membuka Rumah Ceragem adalah peluang usaha lain yang juga bisa dilakukan Anda yang ingin sehat badan dan kantung. Syaratnya juga cukup mudah, cukup membeli minimal 1 alat Ceragem Compact, satu ruang kamar untuk menaruh satu bed..

Harga Ceragem Compact-nya sendiri dibanderol Rp10,5 juta/unit. Soal bed, Anda bisa membuatnya sendiri atau memesan lewat supplier Ceragem dengan harga berkisar Rp600 ribu-Rp900 ribu per unit. Anda juga bisa melengkapi Rumah Ceragem dengan tambahan alat lain semisal warm pad (matras kehangatan yang sejatinya bukan produk Ceragem). Harganya Rp2,480 juta/unit.

Oh ya, pemilik Rumah Ceragem boleh memungut tarif buat tamu yang ingin mencoba alat tersebut. Kantor pusat Ceragem memang tidak mematok tarif, karena tiap wilayah geografis bisa berbeda antara satu dengan yang lainnya. Di Jakarta saja, tarifnya berkisar antara Rp4 ribu sampai Rp7 ribu (pakai warm pad). Tapi rata-rata memasang tarif Rp5 ribu untuk terapi selama 30 menit.

Menurut Imelda, saat ini sudah ratusan orang membuka Rumah Ceragem. Mereka sebelumnya adalah orang-orang yang sering mengunjungi center untuk menyembuhkan penyakitnya. Azril Idrus (61) dan Ha Kie Kwet (43) adalah contoh dua dari ratusan orang yang membuka Rumah Ceragem. Azril, warga Rawamangun yang membuka Rumah Ceragem di Jl. Kali Pasir, Jakarta saat ini hanya punya 1 alat dan dua bed. Pengunjunggnya pun belum banyak, sekitar 3-4 orang setiap hari.

Berbeda dengan Ha Kie Kwet alias Keket. Pria yang mengaku terkena diabetes ini membuka Rumah Ceragem di rumahnya kawasan Kramat Pulo, Jakarta. Di tempatnya kini dia punya 3 alat dan 6 bed. Tempatnya selalu ramai dikunjungi orang. “Pernah waktu Februari-Maret kemarin, saya kedatangan rata-rata 120 orang setiap hari,” aku Keket. Dengan tarif Rp5 ribu/orang, dalam sehari Keket bisa meraup Rp600 ribu. Nah, kalau dalam sebulan ada 26 hari, Keket bisa mengantungi omzet sebulan sekitar Rp156 juta. Itu berarti dia bisa cepat balik modal.

Bagaimana dengan Anda? $ AGUSTAMAN

Baca Selengkapnya..

Sehatnya Bubur Bayi Buatan Hajah Dias

Diposting oleh Agustaman | 15.12 | 21 komentar »

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 09/September 2008)

Terdorong ingin membantu para balita mendapat asupan makanan sehat, Hj. Dias membuat makanan (bubur) bayi siap saji lalu menjualnya. Usahanya terus berkembang. Kini dia punya 30-an cabang di Jakarta.

Dengan cekatan perempuan muda itu memasukkan bubur ke dalam wadah-wadah yang ada di depannya. Sementara satu perempuan muda lainnya merapikan wadah yang telah terisi bubur tersebut lalu memberikannya ke pembeli yang sudah menunggu sejak pukul 05.30. Sementara di sudut lain, Hj. Mardiastuty tak kalah sibuknya. Setelah melayani pembayaran satu pembeli, perempuan yang akrab disapa Hajah Dias ini lalu memanggil pembeli berikutnya dengan menyebutkan nomor antrian.
Membeli bubur dengan nomor antrian? Ya, ini sebenarnya pemandangan sehari-hari yang terlihat di halaman rumah Hajah Dias. Sejak pagi hari, sekitar pukul 05.30 para ibu dan bapak muda sudah antri di halaman rumah di Jalan Kayu Manis IV No.11, Jakarta Timur. Mereka rela antri untuk mendapatkan giliran membeli bubur. “Supaya tertib dan nggak rebutan, tiap pembeli yang datang harus ambil kartu nomor urut. Mereka akan saya panggil sesuai urutan nomor. Ada juga yang sudah menitipkan rantang atau wadah plastik sehari sebelumnya. Rantang ini saya beri nama, dia tinggal ambil. Mirip kateringlah begitu,” papar perempuan berusia 63 tahun ini kepada DUIT!.
Dalam waktu sekitar satu jam bubur yang dijual seharga Rp2.000/porsi itupun ludes. Bubur yang dijual memang bukan bubur biasa. Tapi bubur bayi. Hajah Dias lebih senang menyebutnya makanan bayi siap saji. “Ini memang bukan bubur yang biasa dijual, tapi bubur khusus untuk balita, tanpa vetsin dan bahan pengawet. Saya membuatnya dengan bermacam-macam menu, ada yang pakai daging giling, ati ayam, ikan ditambah sayur-sayuran seperti wortel, kacang ijo, jagung manis, tomat, dan keju,” ucap Hj. Dias yang selalu mengganti menu setiap hari supaya anak-anak tidak bosan.
Ibu lima anak dan nenek satu cucu ini bercerita, dirinya sebenarnya tidak sengaja berjualan makanan bayi siap saji tersebut. Sebagai aktifis Posyandu di wilayah rumahnya, Hj. Dias kerap menyaksikan para ibu atau bapak yang punya balita membelikan bubur buat sang buah hati di penjual yang kerap lewat di depan rumahnya. “Cuman dibumbui kecap manis, mana bisa bubur itu bergizi,” pikirnya ketika itu.
Tergerak dengan situasi tersebut, sekitar tahun 2003 Hj. Dias mencoba berjualan makanan siap saji buat balita di depan rumahnya. Soal resep, bukan hal sulit buat dia karena pengalamannya sebagai perawat selama 30 tahun membuatnya tahu mana makanan yang sehat dan bergizi. “Waktu pertama kali jualan, saya hanya menghabiskan beras sekitar setengah kilo, kira-kira jadi 20 porsi. Untuk promosinya, saya taruh plang di pagar depan rumah: Sedia Bubur Bayi. Nggak dinyana hari itu banyak yang datang. Nggak sampai setengah hari sudah habis. Besoknya, tetangga-tetangga dan kader Posyandu bilang ke orang-orang lain, kalau mau beli bubur bayi di bu haji Dias aja,” cerita perempuan yang sejak 1998 pensiun sebagai perawat di rumah sakit umum pemerintah ini.
Meski awalnya sempat ditentang suami, istri H. Kudjati Sutanto ini tetap meneruskan jualan buburnya. Dia berkilah, meski secara ekonomi keluarganya sudah cukup mapan, menolong orang lain lewat pemberian gizi yang baik buat balita adalah perbuatan mulia. Apalagi di rumah waktu itu dirinya sudah tidak punya anak kecil lagi, sudah lulus sekolah dan bekerja. Ini bisa jadi pengisi waktu lagi buatnya selain aktif di Posyandu. “Bapak (suami) akhirnya setuju, terlebih ketika dia tahu dari hari ke hari banyak orang datang ke sini beli bubur, mulai dari tetangga sekitar sampai dari luar kawasan Kayu Manis sini,” ujar istri pensiunan Perwira AL yang dikaryakan di Pertamina ini.

Punya 35-an Cabang
Ketika usahanya mulai berkembang, Hj. Dias kemudian mendaftarkan izin penyehatan makanan jasa boga ke Suku Dinas (Sudin) Kesehatan Masyarakat Jakarta Timur (Izin No.31 Tahun 2007). Tak hanya sampai disitu. Aries, putra sulungnya yang sudah bekerja dan berkeluarga menyarankan ibunya membuka cabang di tempat lain Aries bilang, banyak temannya yang bisa diajak bekerja sama. Ada juga teman kuliahnya yang sudah lulus tapi belum mendapat pekerjaan. Dengan membuka cabang ini, Aries berharap bisa membantu teman-temannya berbisnis.
Hj. Dias setuju, asal urusan manajemen dan pengontrolan cabang Arielah yang bertanggung jawab. Sementara dia akan bertanggung jawab di pelatihan koki yang akan memasak nanti di dapur lain dan pengontrolan kualitas masakan. “Karena saya bertanggung jawab kepada masyarakat, pembantu saya yang bantu masak di dapur rumah dan koki yang akan masak di tempat lain saya tekankan soal kualiatas masakan. Semua bahan harus dicari yang paling baik, harus segar. Karena ini makanan untuk bayi, jadi harus higienis,” paparnya.
Saat ini tercatat sekitar 35 cabang bubur Hj Dias berdiri. Ada sekitar 12 cabang di Jakarta Timur, 17 di Jakarta Barat, sisanya di Jakarta Selatan, Cimanggis dan Depok. Kebutuhan semua cabang ini dipenuhi dari tiga dapur Hj. Dias, masing-masing satu di rumahnya Kayu Manis, Pisangan dan Slipi.
Untuk membuka cabang (tepatnya mitra atau agen) bubur Hj.Dias syaratnya cukup mudah. Utamanya adalah hobi memasak dan punya pengalaman mengurus anak. Selebihnya cukup membeli putus bubur Hj. Dias dengan harga mitra Rp1.500/porsi, tetapi mereka tetap harus menjual dengan harga yang sama Rp2.000/porsi. Mitra juga harus melengkapi usahanya dengan spanduk produk yang harus dibeli seharga Rp150 ribu. Mitra juga bisa melengkapi sendiri jualannya dengan brosur produk. “Jualannya bisa dimana saja, tapi kebanyakan di rumah sendiri,” ujar Hj. Dias.
Salah satu mitra Hj. Dias yang cukup sukses adalah Arif Maulana. Bapak satu anak yang tinggal di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat ini semula hanya membuka satu tempat usaha bubur bayi Hj. Dias di depan rumahnya. Mantan karyawan koperasi ini mengambil bubur di dapur Bu Dias di Slipi. “Jualan saya ternyata laku keras. Dalam sejam bubur sudah habis. Makanya, saya tergerak buka satu cabang lagi di daerah Kebon Jeruk. Dari kedua jualan itu setidaknya saya bisa meraih keuntungan Rp3,5 juta per bulan. Ini membuat saya makin semangat untuk buka satu lagi di Kemandoran,” papar Arif yang berkenalan dengan bubur Dias ketika bertandang ke rumah orang tuanya di kawasan Pramuka, tak jauh dari tempat tinggal Hj. Dias.
Menurut Hj. Dias, karena secara tak sengaja saat ini produknya menyasar kalangan menengah bawah, dia ingin ke depannya produknya juga bisa dinikmati kalangan menengah atas. “Nah, itu tugas anak-anak saya untuk mengelola pasar. Biar mereka nanti yang merumuskan. Tugas saya hanya memasak dan memastikan bayi atau balita tumbuh sehat dan cerdas,” tandasnya menutup pembicaraan. $ AGUSTAMAN.

Baca Selengkapnya..

Pemasok Aksesoris Interior dari Cipadu

Diposting oleh Agustaman | 20.51 | 15 komentar »

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 02/Februari 2008)

Setelah mengalami beberapa fase perubahan semenjak didirikan tahun 2002, Dewi Sambi Tenun mulai berkembang untuk menerima pesanan grosir dalam jumlah besar dari beberapa toko/kios di sekitar Jakarta.

Anda yang warga Jabodetabek, mungkin pernah mendengar nama Cipadu. Ya, kawasan yang berada di Kecamatan Ciledug, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten tersebut sudah lama dikenal sebagai sentra produsen dan perdagangan kain, pakaian dan aneka kerajinan tangan berbahan baku kain.

Nah, kalau kebetulan Anda berkunjung ke sana mungkin bisa menemukan sarung bantal, ataupun gorden buatan Dewi Sambi Tenun yang dijajakan beberapa pedagang di sana. Namun, kalau Anda ingin membeli dalam jumlah banyak alias grosiran, datang saja ke tempat produksinya di Jl. Taman Asri Lama, tak jauh dari sentra kulakan kain Cipadu.
Lokasinya mudah ditemukan karena di tepi jalan raya. Cukup mencolok dengan warna kuning cerah serta tulisan besar “Dewi Sambi Tenun” di depan rumah.

Di tempat itulah, si empunya rumah menempatkan 40 karyawannya untuk memproduksi aneka kerajinan tangan berbahan baku tenun dan batik. Tak hanya tempat memproduksi, tapi ada juga ruang pamer dan penjualan produk.

“Tempat ini kami tempati dan bangun sejak 2005 lalu. Lahan seluas 200 meter persegi ini dibeli dari hasil jerih payah kami berjualan aneka ragam kerajinan dari tenun dan batik ini,” terang si empunya rumah dan pemilik Dewi Sambi Tenun (DST), Wijiastuti alias Uthie kepada DUIT1

Uthie memang pantas bangga dan bersyukur dengan usaha yang dirintisnya dari rumah kontrakan. Bagaimana tidak, setelah mengalami beberapa fase perubahan sejak didirikan tahun 2002 silam, dimulai dari hanya menerima pesanan perorangan dan dengan satu orang karyawan, kini sudah punya 40 orang karyawan untuk melayani pesanan grosir dalam jumlah besar dari beberapa toko/kios di sekitar Jakarta.

“Sejak kecil saya memang sudah tinggal di Cipadu. Awalnya kawasan ini berkembang menjadi sentra kulakan kain untuk menyaingi kulakan kain di Cipulir dan Ciledug> Tapi saya lihat kebanyakan pedagangnya menjual kaos dan kain. Belum ada yang jualan
kerajinan tangan berbahan baku tenun atau batik. Kebetulan, waktu kuliah saya pernah ikut seminar yang intinya tenun masih punya peluang untuk dikembangin jadi bisnis lain,” papar alumnus Universitas Negeri Jakarta jurusan Tata Busana ini.

Dari situlah Uthie mulai tergerak untuk memulai usaha. Atas seijin suaminya, Dwi Mintiarto, Uthie menggunakan uang tabungannya sebesar Rp3,5 juta untuk membeli bahan baku tenun dan batik dari perajin di Pekalongan, Yogyakarta dan Malang. Bahan baku itu kemudian dia jahit menjadi gorden. Hasilnya, dia pamerkan ke beberapa tetangga dan ke beberapa penjual kain Cipadu. Tak dinyana, sambutannya cukup bagus. Bahkan ada yang memesan, meski belum dalam skala besar.

Uthie yang saat itu masih tinggal di rumah kontrakan, kemudian merekrut satu orang penjahit untuk membantunya. “Waktu itu memang ada satu grosir yang awalnya memesan dalam jumlah lumayan. Tapi, lama-lama kok saya merasa ditekan oleh si grosir tadi. Dia juga suka bayar telat. Akhirnya saya putar haluan, jualin produk saya ke beberapa pameran yang biasanya diadakan beberapa perkantoran dan mal di Jakarta,” kisah perempuan berusia 29 tahun ini.

Memasok ke Toko Grosir

Titik balik usahanya mulai kelihatan ketika dia mengikuti pameran Gelar Tenun 2003 di Hotel Sahid, Jakarta. Pembelinya tak hanya orang Indonesia, tapi juga para ekspatriat dan orang asing yang kebetulan menginap di sana. Dari situ, Uthie yang mengusung nama usaha “Dewi Sambi Tenun” lalu mengikuti even-even pameran lainnya. Langkah ini membuat usahanya kian dikenal orang. Tak sedikit yang memesan langsung ke rumahnya.

Karena pesanan mulai banyak, Uthie mulai menambah karyawan. Sang suami yang sebelumnya bekerja di perusahaan swasta, dimintanya mengundurkan diri untuk membantu dirinya yang mulai kewalahan mengembangkan produksi dan desain. Produk yang awalnya hanya gorden, juga mulai dikembangkan untuk memenuhi permintaan. Ada tutup tissue, sarung bantal, tempat koran, tas mungil, tempat laundry, looper, taplak meja, tutup galon, placemate, keset, dan lampu. Semuanya tetap memakai bahan baku tenun kain, batik dan ditambah tenun eceng gondok.

Dia juga rajin ikut pameran kerajinan dengan skala besar seperti Inacraft, ICRA, Indonesia Expo, Pekan Raya Jakarta dan beberapa Expo di Batam, Bali dan Bandung. Pameran di luar kota tadi, membuat DST kebanjiran pesanan.

Di luar pameran, DST juga memasok produknya ke beberapa pedagang retail dan grosir seperti di Cipadu, Pondok Gede, Tamini Square, Mangga Dua, Pusat Grosir Cililitan (PGC), ITC Depok, dan Depok Town Square (Detos). Belakangan DST juga mengembangkan sendirinya outlet-nya di beberapa tempat di Jakarta (Melawai Plaza, Gajah Mada Plaza, Slipi Jaya, Atrium Senen), Tangerang (WTC Matahari Serpong, Bintaro Plaza).
Uniknya, beberapa orang juga memasarkan produk DST lewat cara mereka sendiri. Ada yang lewat internet (internet marketing), ada pula yang menjual langsung. Siska Hapsari misalnya. Perempuan yang juga anggota komunitas bisnis TDA ini menjual produk DST lewat blog. Dia menawarkan peluang untuk menjadi reseller produk DST dengan iming-iming diskon 20% bagi yang membeli paket full set DST. Ada juga tawaran di internet untuk menjadi member DST Club.

Soal ini Uthie menjawab enteng,”Alhamdulillah kalau banyak orang yang dengan caranya sendiri memasarkan produk DST. Ini malah membantu kami, tanpa kami harus keluarkan ongkos promosi”. Asal tahu saja, untuk beberapa pembeli tadi, ada yang beli putus, ada juga yang membayar tempo satu bulan (terutama grosir).

Dengan mematok harga mulai dari Rp10 ribu (tas mungil) sampai Rp150 ribu (lampu hias), Uthie mengaku bisa mengantungi omzet Rp20 juta-Rp300 juta sebulan.

“Produk kami memang dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang interior yang bernilai seni dan berkualitas dengan harga terjangkau,” kata ibu dua anak yang kini sudah punya rumah sendiri di Perumahan Taman Asri, Cipadu plus 2 buah kendaraan roda empat dan beberapa motor untuk operasional karyawan. $ AGUSTAMAN

Baca Selengkapnya..