SEKAPUR SIRIH
Bekerja dari pagi sampai petang di kantor? Itu sudah kuno, karena sekarang banyak orang yang mengerjakan bisnis cukup dari rumah tanpa harus repot-repot menembus kemacetan lalu lintas ke kantor. Cukup dengan seperangkat komputer, secangkir kopi dan segudang keahlian, Anda bisa menjadi juragan tanpa kantor.
: : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : :

Bisnis Rumahan

Biar Anak Tidak Malas Pakai Handuk

Diposting oleh Agustaman | 14.19 | 1 komentar »

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT edisi 12/III/Desember 2009)

Sebelum menciptakan baju handuk, Miswati 'Iwa” Dusni sebenarnya sudah memproduksi sprei, mukena, kaos dan handuk aplikasi dan bordir. Kini produk baju handuk jadi primadonanya.

Sudah kesekian kalinya selepas mandi Bobby (10) malas memakai handuknya. Tanpa malu dilihat kakak dan dua adiknya, bocah bertubuh gempal ini berjalan santai dari kamar mandi ke kamar tidurnya tanpa handuk menutupi tubuhnya. Terang saja kondisi ini membuat “gerah” sang ibu, Miswati Dusni. Padahal, kata perempuan yang biasa disapa Iwa ini dirinya dibiasakan disiplin oleh orang tuanya. Ia ingin anaknya juga melakukan hal yang sama.

Berawal dari situlah Iwa berkreasi menciptakan handuk yang dijahit menyerupai baju, lalu diberi lubang untuk tempat memasukkan kepala. Di bagian depan, handuk diberi aplikasi kain serta tambahan sulam bordir. Tujuannya, supaya anaknya tidak malas lagi memakai handuk sehabis mandi. Kreasinya, diakui Iwa tersinspirasi oleh baju tokoh Batman yang pernah dia pakai sewaktu kecil dulu.

Kreasinya ternyata tak hanya disukai keempat anaknya, tapi juga beberapa orang pengunjung di Galeri UKM Cilandak Town Square (Citos), Jakarta. Sebelum menciptakan baju handuk (Januari 2008), Iwa memang sudah membuka stand kecil di Citos sejak 2006 silam yang disewanya seharga Rp2 juta. Di Citos awalnya Iwa menjajakan handuk dengan motif aplikasi bordir, sprei, mukena bordir dan sulam serta kaos aplikasi. Ada juga handuk model kimono anak untuk menutupi badan sehabis berenang.

“Nah, waktu saya taruh kreasi baru baju handuk, ternyata banyak yang suka dan memesan dengan motif aplikasi yang mereka mau. Ada juga yang minta baju handuk pakai tutup kepala. Ternyata yang pakai tutup kepala ini paling laku. Makanya, saya banyak memproduksi baju handuk pakai tutup kepala,” cerita perempuan yang memulai bisnis rumahannya pasca krisis moneter.

Baju handuk buatannya semula dia produksi untuk kalangan anak-anak saja. Tapi ternyata banyak orang-orang dewasa tertarik memilikinya. Tentu saja untuk ukuran dewasa, Iwa membutuhkan lebih dari satu bahan handuk. Untuk pasokan bahan handuknya, dia membelinya dari pedagang grosir di kawasan Mangga Dua, Jakarta.

Awalnya, Iwa hanya membuat baju handuk dengan satu bahan handuk. Tapi lantaran banyak konsumennya di Jakarta mengeluhkan kualitas kain handuk, akhirnya ia membuat baju handuk dengan kualitas berbeda. Kualitas handuk yang lebih lembut dia pasarkan untuk wilayah Jakarta dan untuk pasar daerah yang memilih harga lebih murah, Iwa membuat kualitas yang tidak jauh beda.

Harga jual yang dipatok bervariasi, mulai dari Rp90 ribu sampai Rp125 ribu (baju handuk tanpa topi) dan Rp125 ribu sampai Rp250 ribu (baju handuk pakai topi). Iwa menjualnya secara eceran dan grosiran. Untuk grosiran, dia memberi diskon 25% dari harga jual kepada pembelinya. Pembelian grosir minimal satu lusin.

“Saya sih maunya produk ini bisa terjangkau kelas menengah bawah. Tapi agak susah kalau saya patok harga dibawah Rp50 ribu karena beli bahan bakunya bisa lebih dari segitu,” papar alumnus Teknik Sipil ISTN, Jakarta angkatan 1983 sembari mengatakan banyak pelanggannya, terutama ibu-ibu yang memesan produk baju handuk untuk dijual kembali. “Tapi saat ini belum bisa dipenuhi semuanya, karena tenaga kerjanya belum banyak,” sambung Iwa yang sudah banyak memiliki pelanggan dari luar Jakarta, seperti Kudus, Purwerejo, Surabaya, Samarinda dan Makasar.

Saat ini Iwa mempekerjakan dua karyawan pria untuk mengerjakan bordir. Pekerjaan jahitan, dia serahkan ke temannya yang tukang jahit, sementara untuk aplikasi (dengan kain katun, dijahit tusuk feston) masih dikerjakan Iwa sendiri. Padahal dulunya dia mengaku tak suka dengan jarum dan benang jahit. “Tapi begitu terjun ke usaha ini, mau nggak mau harus belajar sendiri cara menjahit baju karena terkadang saya tidak puas melihat hasil jahitan orang lain,” ujarnya sembari tertawa.

Dua karyawan bordir yang berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat tadi dibayar dengan cara borongan. Mereka, kata Iwa, bisa menerima upah bersih Rp300 ribu-Rp400 ribu per minggu, karena makan dan tempat tinggal sudah disediakan Iwa di rumahnya, kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.

Tak Gentar Produk Ditiru

Dengan tiga tenaga kerja (termasuk dirinya) Iwa bisa memproduksi 20 potong baju handuk per hari. Omzetnya diperkirakan antara Rp10 juta sampai Rp15 juta per bulan dengan keuntungan bersih antara 35% sampai 40%.

“Maunya tambah satu karyawan untuk aplikasi, tapi belum dapat orangnya. Karena mulai dari melukis sampai menjahit adalah pekerjaan tangan yang butuh keterampilan tersendiri,” terang Iwa yang menamai usahanya dengan nama “Rakita”.

Bagaimana dengan produk di luar baju handuk? Menurut Iwea, karena saat ini pesanan lebih banyak ke baju handuk, dia akan fokus dulu di produk tersebut. Sedangkan produk yang lain, meski masih diproduksi jumlahnya tak sebanyak baju handuk. Produk mukena dengan aplikasi dan bordir misalnya, jumlahnya paling sedikit karena penjualan produk ini biasanya musimam alias tidak setiap hari. Harganya pun tidak murah, Rp175 ribu sampai Rp225 ribu untuk mukena anak dan Rp250 ribu-Rp700 ribu buat dewasa.

“Modal saya juga belum banyak. Dulu waktu pertama kali memulai modalnya hanya Rp4 juta di luar sewa tempat di Citos. Dari keuntungan awal tadi diputar terus sampai sekarang termasuk untuk membeli dua mesin jahit bordir. Tidak ada dana dari pihak ketiga,” papar perempuan kelahiran Bukittinggi 44 tahun lalu ini.

Soal produknya yang mudah ditiru orang, tak membuatnya khawatir. Dengan kreativitas dan kualitas bordir yang bagus, ia yakin produknya masih jauh lebih berkualitas ketimbang penirunya.

Iwa sendiri awalnya adalah profesional di sebuah perusahaan konsultan kontraktor yang dibangun bersama teman-teman kuliahnya selepas lulus dari ISTN. Karena kelahiran anaknya, Iwa akhirnya menundurkan diri dari perusahaan tersebut.

Pasca melahirkan, Iwa membuka sendiri usaha desain interior. Sayang, badai krisis moneter 1998 menghempaskan usahanya. Iwa dibantu sang suami mulai bangkit lagi tahun 2002 dengan berdagang pakaian. Dari usaha inilah Iwa mulai berkreasi menciptakan produk fashion lainnya, mulai dari kaos, mukena sampai handuk aplikasi/bordir. Dan kini baju handuk menjadi promadona produknya.

“Pada pemeran Nova Fair akhir November lalu, baju handuk saya banyak terjual. Semoga rezeki itu tambah lagi di penjualan-penjualan berikutnya,” harap Iwa. Ya, semoga harapan itu terkabul. $ AGUSTAMAN

1 komentar

  1. Unknown // 3 Januari 2015 pukul 10.08  

    mohon info alamat dan telpon yg bisa dihubungi

Posting Komentar