(Tulisan ini pernah say tulis di majalah DUIT! edisi 10/III/Oktober 2008)
Di usianya yang sudah mencapai setengah abad, May Lita masih kreatif menciptakan produk rajutan untuk home décor, fashion dan aksesoris. Dia punya ratusan perajin binaan yang tersebar di Bali, Jogja dan Jakarta.
Jari-jari tangannya masih cekatan memencet tuts-tuts papan ketik laptop. Kaca mata bacanya membantu dia memelototi komentar yang masuk ke blog pribadinya. Selesai membalas komentar tersebut, dia melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda karena harus mengawasi pekerjaan anak buahnya: meng-up date dan memasukkan foto-foto yang memajang hasil karyanya. Sesekali dia menghisap dalam-dalam asap rokok putih kesukaannya.
“Kalau lagi bekerja begini, bisa lebih fresh dan konsentrasi sambil merokok,” ujar May Lita kepada DUIT! yang menyambangi kediamannya di kawasan Ciputat, Tangerang.
Komputer, laptop, email, dan blog memang bukan hal baru buat Melli, begitu perempuan paro baya ini biasa disapa. “Soal ketik mengetik, saya sudah mahir sejak muda. Jadinya, waktu jaman beralih dari mesin ketik ke komputer, nggak merasa kesulitan. Hanya saja soal program-program yang ada didalamnya termasuk internet, saya banyak diajarin anak-anak,” papar perempuan kelahiran Medan, 1952 ini. “Dari internet inilah saya memasarkan produk-produk buatan sendiri,” sambung pemilik usaha Rumah Rajut ini.
Ya, Melli adalah produsen kerajinan tangan dengan cara merajut (knitting, crocket dan felting). Knitting adalah rajutan dari benang katun, rayon, acrylic dan kasmere like. Ada yang dikerjakan dengan tangan dan mesin (meski tetap memakai sentuhan tangan untuk pinggiran atau sambungan). Sedangkan crocket (baca krose) adalah rajutan benang yang sepenuhnya dikerjakan dengan tangan. Adapun felting adalah melukis di kain sutera, setelah itu diproses sedemikian rupa dengan tangan sehingga membentuk desain unik untuk pelengkap baju (shawl). “Ketiga jenis rajutan itu saya buat untuk produk home décor, fashion dan aksesoris,” jelas Melli.
Rajutan benang yang biasanya dibuat sebagai pelengkap baju (seperti vest, cardigan), tas, ataupun taplak meja boleh jadi adalah produk jadul (jaman dulu) yang sering dikerjakan oleh ibu atau nenek-nenek kita dahulu. Melli juga mengaku, dirinya mahir membuat rajutan karena dia belajar dari sang nenek sejak duduk di bangku SMP di Medan tahun 1968 silam. Meski jadul, produk rajut ternyata masih punya banyak penggemar. Buktinya, Melli kini memproduksi ratusan item produk rajutan yang sebagian besar dipasok untuk sebuah butik fashion yang menjual produk Indonesia di pusat belanja dan hotel ternama di kawasan Thamrin, Jakarta.
Melli sendiri memulai bisnisnya ketika Indonesia dilanda krisis moneter (1998). Memanfaatkan keterampilan merajut, istri Peter Sulilatu ini mulanya membuat produk anak-anak seperti tas dan baju dengan teknik sulam crocket dan knitting. Produk itu lalu ditawarkan ke teman-teman anaknya. “Waktu itu responnya cukup bagus. Dari satu dua pesanan merambat ke dua, tiga pesanan dan seterusnya. Lewat mulut ke mulut, rajutan saya mulai dikenal teman anak saya dan tetangga rumah,” cerita Melli yang memperdalam pembuatan knitting di Australia ketika keluarganya bermukim di negeri Kanguru tersebut tahun 1973-1980.
Tahun 2006 informasi tentang Rumah Rajut akhirnya sampai juga ke pemilik butik fashion yang memajang dan menjual hasil karya anak bangsa di hotel ternama di bilangan Thamrin, Jakarta. Tak tangung-tanggung, si pemilik butik memesan lebih dari 400 pcs rajutan dari Melli. Boleh dibilang, pesanan pertama yang lumayan besar itu merupakan titik balik Melli untuk mengembangkan produk. Uang muka pesanan dipakainya untuk membeli alat produksi dan merekrut karyawan.
Dari semula dibantu satu orang karyawan, ibu lima anak ini mulai menambah beberapa karyawan lagi. Ketika pesanan kedua sebesar 4.200-an pcs datang lagi, Melli mulai menambah alat produksi seperti mesin jahit dan bahan baku lainnya. Untuk mengerjakan pesanan yang makin banyak, selain di rumahnya sendiri dia juga mendidik dan membina ratusan perajin di Bantul, Jogja dan Bali.
“Di rumah, saya membuat desain dan sample, lalu saya kirimkan beserta bahan baku ke para perajin di Jogja dan Bali. Di Bali saya kerja sama dengan studio rajut di sana. Di sana lebih banyak untuk pengerjaan knitting, kalau di Jogja kebanyakan crocket. Semua bahan, seperti benang saya beli di Bandung dan Surabaya.,” ucap nenek lima cucu ini yang belum memberikan pengerjaan tas rajutnya ke orang lain alias dikerjakan sendiri.
Dapat Kucuran Modal dari Bank
Di luar pengerjaan pesanan dari butik tadi, Melli juga masih melayani 200-an pelanggan di Jakarta dan sekitarnya. Pelanggan perorangan rata-rata adalah perempuan kelas menengah atas, mulai dari anak-anak, ABG sampai dewasa. Beberapa rajutan buatannya bahkan sudah melanglang buana ke mancanegara lewat tangan ketiga. Produk Melli juga memenuhi beberapa toko cindera mata seperti Chick Mart Kemang dan beberapa butik ternama di Jakarta. Dia juga kerap mengikuti pameran-pameran kerajinan tangan dan produk fashion seperti Food & Fashion Festival di Kelapa Gading, Jakarta, Bali Fashion Week dan Inacraft.
“Sebenarnya, memenuhi pesanan dari satu butik di Thamrin saja kami sudah keteteran. Tapi karena banyak pelanggan setia di luar itu, kami tetap mengerjakan pesanan mereka,” papar Melli yang produk felting-nya pernah dinobatkan sebagai “Produk Pilihan” dari majalah Femina.
Melli membanderol produknya mulai dari harga Rp60 ribu (aksesoris: gantungan kunci dll) sampai Rp1 jutaan (produk felting). Sedangkan untuk produk crocket, produknya dihargai mulai dari Rp60 ribu sampai Rp500-an ribu per pcs.
Seperti halnya pebisnis rumahan lainnya, Melli mengaku modal awalnya berasal dari uang tabungannya sendiri. Beberapa kali dia ditawari pinjaman modal dari pihak ketiga, tapi karena ketika itu belum membutuhkan, pinjaman itu tak direalisasikan. Namun, seiring dengan banyaknya pesanan dan niatnya untuk membesarkan usaha, tahun 2008 ini Melli akhirnya berani menerima kucuran dana dari Bank BRI Jakarta berupa Kredit Usaha Rumah (KUR). Sayangnya, perempuan berdarah Batak dari marga Batubara ini enggan mengungkap besaran modal pinjaman yang diterimanya.
Yang pasti, saat ini, dibantu ratusan perajin binaannya dan anak sulungnya Ivan yang membantu di pemasaran produk, Melli terus berkreasi menciptakan varian-varian rajutnya menjadi barang yang tak lekang dimakan jaman.
“Maunya sih punya toko atau butik sendiri. Tapi belum siap karena produksi sekarang saja sudah merepotkan kami. Biar repot, tapi saya bahagia, produk yang katanya jadul ini masih tetap disuka,” tandas Melli yang bisa meraih omzet sekitar Rp20-an juta per bulan ini. $ AGUSTAMAN
Di usianya yang sudah mencapai setengah abad, May Lita masih kreatif menciptakan produk rajutan untuk home décor, fashion dan aksesoris. Dia punya ratusan perajin binaan yang tersebar di Bali, Jogja dan Jakarta.
Jari-jari tangannya masih cekatan memencet tuts-tuts papan ketik laptop. Kaca mata bacanya membantu dia memelototi komentar yang masuk ke blog pribadinya. Selesai membalas komentar tersebut, dia melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda karena harus mengawasi pekerjaan anak buahnya: meng-up date dan memasukkan foto-foto yang memajang hasil karyanya. Sesekali dia menghisap dalam-dalam asap rokok putih kesukaannya.
“Kalau lagi bekerja begini, bisa lebih fresh dan konsentrasi sambil merokok,” ujar May Lita kepada DUIT! yang menyambangi kediamannya di kawasan Ciputat, Tangerang.
Komputer, laptop, email, dan blog memang bukan hal baru buat Melli, begitu perempuan paro baya ini biasa disapa. “Soal ketik mengetik, saya sudah mahir sejak muda. Jadinya, waktu jaman beralih dari mesin ketik ke komputer, nggak merasa kesulitan. Hanya saja soal program-program yang ada didalamnya termasuk internet, saya banyak diajarin anak-anak,” papar perempuan kelahiran Medan, 1952 ini. “Dari internet inilah saya memasarkan produk-produk buatan sendiri,” sambung pemilik usaha Rumah Rajut ini.
Ya, Melli adalah produsen kerajinan tangan dengan cara merajut (knitting, crocket dan felting). Knitting adalah rajutan dari benang katun, rayon, acrylic dan kasmere like. Ada yang dikerjakan dengan tangan dan mesin (meski tetap memakai sentuhan tangan untuk pinggiran atau sambungan). Sedangkan crocket (baca krose) adalah rajutan benang yang sepenuhnya dikerjakan dengan tangan. Adapun felting adalah melukis di kain sutera, setelah itu diproses sedemikian rupa dengan tangan sehingga membentuk desain unik untuk pelengkap baju (shawl). “Ketiga jenis rajutan itu saya buat untuk produk home décor, fashion dan aksesoris,” jelas Melli.
Rajutan benang yang biasanya dibuat sebagai pelengkap baju (seperti vest, cardigan), tas, ataupun taplak meja boleh jadi adalah produk jadul (jaman dulu) yang sering dikerjakan oleh ibu atau nenek-nenek kita dahulu. Melli juga mengaku, dirinya mahir membuat rajutan karena dia belajar dari sang nenek sejak duduk di bangku SMP di Medan tahun 1968 silam. Meski jadul, produk rajut ternyata masih punya banyak penggemar. Buktinya, Melli kini memproduksi ratusan item produk rajutan yang sebagian besar dipasok untuk sebuah butik fashion yang menjual produk Indonesia di pusat belanja dan hotel ternama di kawasan Thamrin, Jakarta.
Melli sendiri memulai bisnisnya ketika Indonesia dilanda krisis moneter (1998). Memanfaatkan keterampilan merajut, istri Peter Sulilatu ini mulanya membuat produk anak-anak seperti tas dan baju dengan teknik sulam crocket dan knitting. Produk itu lalu ditawarkan ke teman-teman anaknya. “Waktu itu responnya cukup bagus. Dari satu dua pesanan merambat ke dua, tiga pesanan dan seterusnya. Lewat mulut ke mulut, rajutan saya mulai dikenal teman anak saya dan tetangga rumah,” cerita Melli yang memperdalam pembuatan knitting di Australia ketika keluarganya bermukim di negeri Kanguru tersebut tahun 1973-1980.
Tahun 2006 informasi tentang Rumah Rajut akhirnya sampai juga ke pemilik butik fashion yang memajang dan menjual hasil karya anak bangsa di hotel ternama di bilangan Thamrin, Jakarta. Tak tangung-tanggung, si pemilik butik memesan lebih dari 400 pcs rajutan dari Melli. Boleh dibilang, pesanan pertama yang lumayan besar itu merupakan titik balik Melli untuk mengembangkan produk. Uang muka pesanan dipakainya untuk membeli alat produksi dan merekrut karyawan.
Dari semula dibantu satu orang karyawan, ibu lima anak ini mulai menambah beberapa karyawan lagi. Ketika pesanan kedua sebesar 4.200-an pcs datang lagi, Melli mulai menambah alat produksi seperti mesin jahit dan bahan baku lainnya. Untuk mengerjakan pesanan yang makin banyak, selain di rumahnya sendiri dia juga mendidik dan membina ratusan perajin di Bantul, Jogja dan Bali.
“Di rumah, saya membuat desain dan sample, lalu saya kirimkan beserta bahan baku ke para perajin di Jogja dan Bali. Di Bali saya kerja sama dengan studio rajut di sana. Di sana lebih banyak untuk pengerjaan knitting, kalau di Jogja kebanyakan crocket. Semua bahan, seperti benang saya beli di Bandung dan Surabaya.,” ucap nenek lima cucu ini yang belum memberikan pengerjaan tas rajutnya ke orang lain alias dikerjakan sendiri.
Dapat Kucuran Modal dari Bank
Di luar pengerjaan pesanan dari butik tadi, Melli juga masih melayani 200-an pelanggan di Jakarta dan sekitarnya. Pelanggan perorangan rata-rata adalah perempuan kelas menengah atas, mulai dari anak-anak, ABG sampai dewasa. Beberapa rajutan buatannya bahkan sudah melanglang buana ke mancanegara lewat tangan ketiga. Produk Melli juga memenuhi beberapa toko cindera mata seperti Chick Mart Kemang dan beberapa butik ternama di Jakarta. Dia juga kerap mengikuti pameran-pameran kerajinan tangan dan produk fashion seperti Food & Fashion Festival di Kelapa Gading, Jakarta, Bali Fashion Week dan Inacraft.
“Sebenarnya, memenuhi pesanan dari satu butik di Thamrin saja kami sudah keteteran. Tapi karena banyak pelanggan setia di luar itu, kami tetap mengerjakan pesanan mereka,” papar Melli yang produk felting-nya pernah dinobatkan sebagai “Produk Pilihan” dari majalah Femina.
Melli membanderol produknya mulai dari harga Rp60 ribu (aksesoris: gantungan kunci dll) sampai Rp1 jutaan (produk felting). Sedangkan untuk produk crocket, produknya dihargai mulai dari Rp60 ribu sampai Rp500-an ribu per pcs.
Seperti halnya pebisnis rumahan lainnya, Melli mengaku modal awalnya berasal dari uang tabungannya sendiri. Beberapa kali dia ditawari pinjaman modal dari pihak ketiga, tapi karena ketika itu belum membutuhkan, pinjaman itu tak direalisasikan. Namun, seiring dengan banyaknya pesanan dan niatnya untuk membesarkan usaha, tahun 2008 ini Melli akhirnya berani menerima kucuran dana dari Bank BRI Jakarta berupa Kredit Usaha Rumah (KUR). Sayangnya, perempuan berdarah Batak dari marga Batubara ini enggan mengungkap besaran modal pinjaman yang diterimanya.
Yang pasti, saat ini, dibantu ratusan perajin binaannya dan anak sulungnya Ivan yang membantu di pemasaran produk, Melli terus berkreasi menciptakan varian-varian rajutnya menjadi barang yang tak lekang dimakan jaman.
“Maunya sih punya toko atau butik sendiri. Tapi belum siap karena produksi sekarang saja sudah merepotkan kami. Biar repot, tapi saya bahagia, produk yang katanya jadul ini masih tetap disuka,” tandas Melli yang bisa meraih omzet sekitar Rp20-an juta per bulan ini. $ AGUSTAMAN
0 komentar
Posting Komentar