SEKAPUR SIRIH
Bekerja dari pagi sampai petang di kantor? Itu sudah kuno, karena sekarang banyak orang yang mengerjakan bisnis cukup dari rumah tanpa harus repot-repot menembus kemacetan lalu lintas ke kantor. Cukup dengan seperangkat komputer, secangkir kopi dan segudang keahlian, Anda bisa menjadi juragan tanpa kantor.
: : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : : BISNIS RUMAHAN : :

Bisnis Rumahan

Pemasok Aksesoris Interior dari Cipadu

Diposting oleh Agustaman | 20.51 | 15 komentar »

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 02/Februari 2008)

Setelah mengalami beberapa fase perubahan semenjak didirikan tahun 2002, Dewi Sambi Tenun mulai berkembang untuk menerima pesanan grosir dalam jumlah besar dari beberapa toko/kios di sekitar Jakarta.

Anda yang warga Jabodetabek, mungkin pernah mendengar nama Cipadu. Ya, kawasan yang berada di Kecamatan Ciledug, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten tersebut sudah lama dikenal sebagai sentra produsen dan perdagangan kain, pakaian dan aneka kerajinan tangan berbahan baku kain.

Nah, kalau kebetulan Anda berkunjung ke sana mungkin bisa menemukan sarung bantal, ataupun gorden buatan Dewi Sambi Tenun yang dijajakan beberapa pedagang di sana. Namun, kalau Anda ingin membeli dalam jumlah banyak alias grosiran, datang saja ke tempat produksinya di Jl. Taman Asri Lama, tak jauh dari sentra kulakan kain Cipadu.
Lokasinya mudah ditemukan karena di tepi jalan raya. Cukup mencolok dengan warna kuning cerah serta tulisan besar “Dewi Sambi Tenun” di depan rumah.

Di tempat itulah, si empunya rumah menempatkan 40 karyawannya untuk memproduksi aneka kerajinan tangan berbahan baku tenun dan batik. Tak hanya tempat memproduksi, tapi ada juga ruang pamer dan penjualan produk.

“Tempat ini kami tempati dan bangun sejak 2005 lalu. Lahan seluas 200 meter persegi ini dibeli dari hasil jerih payah kami berjualan aneka ragam kerajinan dari tenun dan batik ini,” terang si empunya rumah dan pemilik Dewi Sambi Tenun (DST), Wijiastuti alias Uthie kepada DUIT1

Uthie memang pantas bangga dan bersyukur dengan usaha yang dirintisnya dari rumah kontrakan. Bagaimana tidak, setelah mengalami beberapa fase perubahan sejak didirikan tahun 2002 silam, dimulai dari hanya menerima pesanan perorangan dan dengan satu orang karyawan, kini sudah punya 40 orang karyawan untuk melayani pesanan grosir dalam jumlah besar dari beberapa toko/kios di sekitar Jakarta.

“Sejak kecil saya memang sudah tinggal di Cipadu. Awalnya kawasan ini berkembang menjadi sentra kulakan kain untuk menyaingi kulakan kain di Cipulir dan Ciledug> Tapi saya lihat kebanyakan pedagangnya menjual kaos dan kain. Belum ada yang jualan
kerajinan tangan berbahan baku tenun atau batik. Kebetulan, waktu kuliah saya pernah ikut seminar yang intinya tenun masih punya peluang untuk dikembangin jadi bisnis lain,” papar alumnus Universitas Negeri Jakarta jurusan Tata Busana ini.

Dari situlah Uthie mulai tergerak untuk memulai usaha. Atas seijin suaminya, Dwi Mintiarto, Uthie menggunakan uang tabungannya sebesar Rp3,5 juta untuk membeli bahan baku tenun dan batik dari perajin di Pekalongan, Yogyakarta dan Malang. Bahan baku itu kemudian dia jahit menjadi gorden. Hasilnya, dia pamerkan ke beberapa tetangga dan ke beberapa penjual kain Cipadu. Tak dinyana, sambutannya cukup bagus. Bahkan ada yang memesan, meski belum dalam skala besar.

Uthie yang saat itu masih tinggal di rumah kontrakan, kemudian merekrut satu orang penjahit untuk membantunya. “Waktu itu memang ada satu grosir yang awalnya memesan dalam jumlah lumayan. Tapi, lama-lama kok saya merasa ditekan oleh si grosir tadi. Dia juga suka bayar telat. Akhirnya saya putar haluan, jualin produk saya ke beberapa pameran yang biasanya diadakan beberapa perkantoran dan mal di Jakarta,” kisah perempuan berusia 29 tahun ini.

Memasok ke Toko Grosir

Titik balik usahanya mulai kelihatan ketika dia mengikuti pameran Gelar Tenun 2003 di Hotel Sahid, Jakarta. Pembelinya tak hanya orang Indonesia, tapi juga para ekspatriat dan orang asing yang kebetulan menginap di sana. Dari situ, Uthie yang mengusung nama usaha “Dewi Sambi Tenun” lalu mengikuti even-even pameran lainnya. Langkah ini membuat usahanya kian dikenal orang. Tak sedikit yang memesan langsung ke rumahnya.

Karena pesanan mulai banyak, Uthie mulai menambah karyawan. Sang suami yang sebelumnya bekerja di perusahaan swasta, dimintanya mengundurkan diri untuk membantu dirinya yang mulai kewalahan mengembangkan produksi dan desain. Produk yang awalnya hanya gorden, juga mulai dikembangkan untuk memenuhi permintaan. Ada tutup tissue, sarung bantal, tempat koran, tas mungil, tempat laundry, looper, taplak meja, tutup galon, placemate, keset, dan lampu. Semuanya tetap memakai bahan baku tenun kain, batik dan ditambah tenun eceng gondok.

Dia juga rajin ikut pameran kerajinan dengan skala besar seperti Inacraft, ICRA, Indonesia Expo, Pekan Raya Jakarta dan beberapa Expo di Batam, Bali dan Bandung. Pameran di luar kota tadi, membuat DST kebanjiran pesanan.

Di luar pameran, DST juga memasok produknya ke beberapa pedagang retail dan grosir seperti di Cipadu, Pondok Gede, Tamini Square, Mangga Dua, Pusat Grosir Cililitan (PGC), ITC Depok, dan Depok Town Square (Detos). Belakangan DST juga mengembangkan sendirinya outlet-nya di beberapa tempat di Jakarta (Melawai Plaza, Gajah Mada Plaza, Slipi Jaya, Atrium Senen), Tangerang (WTC Matahari Serpong, Bintaro Plaza).
Uniknya, beberapa orang juga memasarkan produk DST lewat cara mereka sendiri. Ada yang lewat internet (internet marketing), ada pula yang menjual langsung. Siska Hapsari misalnya. Perempuan yang juga anggota komunitas bisnis TDA ini menjual produk DST lewat blog. Dia menawarkan peluang untuk menjadi reseller produk DST dengan iming-iming diskon 20% bagi yang membeli paket full set DST. Ada juga tawaran di internet untuk menjadi member DST Club.

Soal ini Uthie menjawab enteng,”Alhamdulillah kalau banyak orang yang dengan caranya sendiri memasarkan produk DST. Ini malah membantu kami, tanpa kami harus keluarkan ongkos promosi”. Asal tahu saja, untuk beberapa pembeli tadi, ada yang beli putus, ada juga yang membayar tempo satu bulan (terutama grosir).

Dengan mematok harga mulai dari Rp10 ribu (tas mungil) sampai Rp150 ribu (lampu hias), Uthie mengaku bisa mengantungi omzet Rp20 juta-Rp300 juta sebulan.

“Produk kami memang dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang interior yang bernilai seni dan berkualitas dengan harga terjangkau,” kata ibu dua anak yang kini sudah punya rumah sendiri di Perumahan Taman Asri, Cipadu plus 2 buah kendaraan roda empat dan beberapa motor untuk operasional karyawan. $ AGUSTAMAN

Baca Selengkapnya..

Kreasi Boleh Jadul Tapi Tetap Disuka

Diposting oleh Agustaman | 20.40 | 0 komentar »

(Tulisan ini pernah say tulis di majalah DUIT! edisi 10/III/Oktober 2008)

Di usianya yang sudah mencapai setengah abad, May Lita masih kreatif menciptakan produk rajutan untuk home décor, fashion dan aksesoris. Dia punya ratusan perajin binaan yang tersebar di Bali, Jogja dan Jakarta.

Jari-jari tangannya masih cekatan memencet tuts-tuts papan ketik laptop. Kaca mata bacanya membantu dia memelototi komentar yang masuk ke blog pribadinya. Selesai membalas komentar tersebut, dia melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda karena harus mengawasi pekerjaan anak buahnya: meng-up date dan memasukkan foto-foto yang memajang hasil karyanya. Sesekali dia menghisap dalam-dalam asap rokok putih kesukaannya.

“Kalau lagi bekerja begini, bisa lebih fresh dan konsentrasi sambil merokok,” ujar May Lita kepada DUIT! yang menyambangi kediamannya di kawasan Ciputat, Tangerang.

Komputer, laptop, email, dan blog memang bukan hal baru buat Melli, begitu perempuan paro baya ini biasa disapa. “Soal ketik mengetik, saya sudah mahir sejak muda. Jadinya, waktu jaman beralih dari mesin ketik ke komputer, nggak merasa kesulitan. Hanya saja soal program-program yang ada didalamnya termasuk internet, saya banyak diajarin anak-anak,” papar perempuan kelahiran Medan, 1952 ini. “Dari internet inilah saya memasarkan produk-produk buatan sendiri,” sambung pemilik usaha Rumah Rajut ini.

Ya, Melli adalah produsen kerajinan tangan dengan cara merajut (knitting, crocket dan felting). Knitting adalah rajutan dari benang katun, rayon, acrylic dan kasmere like. Ada yang dikerjakan dengan tangan dan mesin (meski tetap memakai sentuhan tangan untuk pinggiran atau sambungan). Sedangkan crocket (baca krose) adalah rajutan benang yang sepenuhnya dikerjakan dengan tangan. Adapun felting adalah melukis di kain sutera, setelah itu diproses sedemikian rupa dengan tangan sehingga membentuk desain unik untuk pelengkap baju (shawl). “Ketiga jenis rajutan itu saya buat untuk produk home décor, fashion dan aksesoris,” jelas Melli.

Rajutan benang yang biasanya dibuat sebagai pelengkap baju (seperti vest, cardigan), tas, ataupun taplak meja boleh jadi adalah produk jadul (jaman dulu) yang sering dikerjakan oleh ibu atau nenek-nenek kita dahulu. Melli juga mengaku, dirinya mahir membuat rajutan karena dia belajar dari sang nenek sejak duduk di bangku SMP di Medan tahun 1968 silam. Meski jadul, produk rajut ternyata masih punya banyak penggemar. Buktinya, Melli kini memproduksi ratusan item produk rajutan yang sebagian besar dipasok untuk sebuah butik fashion yang menjual produk Indonesia di pusat belanja dan hotel ternama di kawasan Thamrin, Jakarta.

Melli sendiri memulai bisnisnya ketika Indonesia dilanda krisis moneter (1998). Memanfaatkan keterampilan merajut, istri Peter Sulilatu ini mulanya membuat produk anak-anak seperti tas dan baju dengan teknik sulam crocket dan knitting. Produk itu lalu ditawarkan ke teman-teman anaknya. “Waktu itu responnya cukup bagus. Dari satu dua pesanan merambat ke dua, tiga pesanan dan seterusnya. Lewat mulut ke mulut, rajutan saya mulai dikenal teman anak saya dan tetangga rumah,” cerita Melli yang memperdalam pembuatan knitting di Australia ketika keluarganya bermukim di negeri Kanguru tersebut tahun 1973-1980.

Tahun 2006 informasi tentang Rumah Rajut akhirnya sampai juga ke pemilik butik fashion yang memajang dan menjual hasil karya anak bangsa di hotel ternama di bilangan Thamrin, Jakarta. Tak tangung-tanggung, si pemilik butik memesan lebih dari 400 pcs rajutan dari Melli. Boleh dibilang, pesanan pertama yang lumayan besar itu merupakan titik balik Melli untuk mengembangkan produk. Uang muka pesanan dipakainya untuk membeli alat produksi dan merekrut karyawan.

Dari semula dibantu satu orang karyawan, ibu lima anak ini mulai menambah beberapa karyawan lagi. Ketika pesanan kedua sebesar 4.200-an pcs datang lagi, Melli mulai menambah alat produksi seperti mesin jahit dan bahan baku lainnya. Untuk mengerjakan pesanan yang makin banyak, selain di rumahnya sendiri dia juga mendidik dan membina ratusan perajin di Bantul, Jogja dan Bali.

“Di rumah, saya membuat desain dan sample, lalu saya kirimkan beserta bahan baku ke para perajin di Jogja dan Bali. Di Bali saya kerja sama dengan studio rajut di sana. Di sana lebih banyak untuk pengerjaan knitting, kalau di Jogja kebanyakan crocket. Semua bahan, seperti benang saya beli di Bandung dan Surabaya.,” ucap nenek lima cucu ini yang belum memberikan pengerjaan tas rajutnya ke orang lain alias dikerjakan sendiri.

Dapat Kucuran Modal dari Bank

Di luar pengerjaan pesanan dari butik tadi, Melli juga masih melayani 200-an pelanggan di Jakarta dan sekitarnya. Pelanggan perorangan rata-rata adalah perempuan kelas menengah atas, mulai dari anak-anak, ABG sampai dewasa. Beberapa rajutan buatannya bahkan sudah melanglang buana ke mancanegara lewat tangan ketiga. Produk Melli juga memenuhi beberapa toko cindera mata seperti Chick Mart Kemang dan beberapa butik ternama di Jakarta. Dia juga kerap mengikuti pameran-pameran kerajinan tangan dan produk fashion seperti Food & Fashion Festival di Kelapa Gading, Jakarta, Bali Fashion Week dan Inacraft.

“Sebenarnya, memenuhi pesanan dari satu butik di Thamrin saja kami sudah keteteran. Tapi karena banyak pelanggan setia di luar itu, kami tetap mengerjakan pesanan mereka,” papar Melli yang produk felting-nya pernah dinobatkan sebagai “Produk Pilihan” dari majalah Femina.

Melli membanderol produknya mulai dari harga Rp60 ribu (aksesoris: gantungan kunci dll) sampai Rp1 jutaan (produk felting). Sedangkan untuk produk crocket, produknya dihargai mulai dari Rp60 ribu sampai Rp500-an ribu per pcs.

Seperti halnya pebisnis rumahan lainnya, Melli mengaku modal awalnya berasal dari uang tabungannya sendiri. Beberapa kali dia ditawari pinjaman modal dari pihak ketiga, tapi karena ketika itu belum membutuhkan, pinjaman itu tak direalisasikan. Namun, seiring dengan banyaknya pesanan dan niatnya untuk membesarkan usaha, tahun 2008 ini Melli akhirnya berani menerima kucuran dana dari Bank BRI Jakarta berupa Kredit Usaha Rumah (KUR). Sayangnya, perempuan berdarah Batak dari marga Batubara ini enggan mengungkap besaran modal pinjaman yang diterimanya.

Yang pasti, saat ini, dibantu ratusan perajin binaannya dan anak sulungnya Ivan yang membantu di pemasaran produk, Melli terus berkreasi menciptakan varian-varian rajutnya menjadi barang yang tak lekang dimakan jaman.

“Maunya sih punya toko atau butik sendiri. Tapi belum siap karena produksi sekarang saja sudah merepotkan kami. Biar repot, tapi saya bahagia, produk yang katanya jadul ini masih tetap disuka,” tandas Melli yang bisa meraih omzet sekitar Rp20-an juta per bulan ini. $ AGUSTAMAN

Baca Selengkapnya..

Furnitur Buat Anak Berimajinasi

Diposting oleh Agustaman | 13.57 | 0 komentar »

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 11/November 2008)

Semula Really me, bisnis rumahan yang dirintis James Arthur dan adiknya hanya menjual furnitur biasa. Kemudian, mereka memberi perhatian lebih pada barang-barang dekorasi rumah bagi anak-anak.

Ini kebiasaan buruk anak-anak dimana-mana. Sehabis bermain dengan aneka mainannya, mereka malas memberesi atau menaruhnya kembali ke tempat atau wadah yang sudah disediakan. Nah, biar nantinya anak-anak itu mau memberesi mainannya kembali, Anda bisa membelikan boks penyimpan mainan dengan bentuk unik. Ada bentuk ambulans, gerobak es krim dan mobil pemadam kebakaran. Ada juga sofa yang dibawahnya berfungsi menyimpan mainan.
Boks penyimpan mainan tersebut memang sengaja diciptakan James Arthur untuk mengasah imajinasi anak-anak. Selain boks penyimpan mainan (toys box), James juga membuat aneka furnitur untuk anak, seperti tangga khusus untuk anak (untuk naik tempat tidur, cuci tangan, dsb.), meja kursi belajar, gantungan baju, hiasan dinding, tempat sampah. Semua produk furnitur tadi dihiasi dengan gambar-gambar yang mengasah imajinasi anak, semisal gambar yang menceritakan pesawat terbang berangkat sampai akhirnya mendarat di bulan. “Produk kami berkonsep the real finest thing, menciptakan barang-barang terbaik untuk anak-anak,” papar James kepada DUIT!
Menurut James, bisnis rumahan yang ia rintis bersama sang adik semula hanya menjual furnitur biasa. Kemudian, mereka memberi perhatian lebih pada barang-barang dekorasi rumah buat anak-anak. “Adik saya yang kebetulan suka jalan-jalan ke luar negeri, sering melihat barang-barang untuk anak-anak sangat diperhatikan, bentuknya artistik dan fungsional. Di sini, produk seperti itu sukar dicari. Makanya, ketika adik menawarkan kerjasama bisnis, saya langsung mengiyakan. Kebetulan, waktu itu saya sedang senang-senangnya dapat momongan. Ingin membuat sesuatu barang fungsional buat anak saya,” tambah bapak dua anak ini.
Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari contoh produk di internet. James kemudian mencoba membuat desain sendiri, mencari bahan baku kayu yang cocok dan mencari tukang (kayu, cat dan lukis) untuk mewujudkan idenya. Setelah berkali-kali mencoba membuat produk yang diinginkan, akhirnya terciptalah produk pertama: toys box.
“Ada sekitar 9 jenis toys box yang waktu itu saya buat. Semuanya hand made,” jelas James yang menghabiskan Rp40 juta sebagai modal awal untuk membuka Really me.
Dengan langkah yakin, James lalu membuka toko di Kemang, Jakarta Selatan untuk memasarkan produk toys box-nya. Alasannya, Kemang dihuni banyak ekspatriat dan masyakarat kelas menengah atas yang jadi sasaran produk Really me. Di sini, tak hanya toys box yang dipajang dan dijual. James juga membuat produk furnitur lain (home accessories dan home décor) untuk anak-anak.
Sayang, toko yang dibukanya tersebut hanya bertahan tiga bulan karena sepi pembeli. “Setelah saya pelajari, ternyata bukan produk saya nggak laku, tapi memang di sana sepi pembeli. Kemang nampaknya bukan primadona lagi buat tempat jualan,” analisa alumnus program D3 Foreign Business Language Universitas Surabaya ini.
Tak patah arang, lelaki yang sebelumnya berbisnis properti bersama sang ayah dan berbisnis souvenir perkawinan ini mencari alternatif lain memasarkan produknya. Dia mencoba ikut pameran Sunday Kid di Cilandak Town Square (Citos), Jakarta. Tak dinyana, pameran pertama yang diikutinya berjalan sukses. Produknya banyak terjual, bahkan banyak yang memesan. Di pameran tersebut, James mengaku mendapat masukan dari pembeli dan menambah jaringan pertemanan antar sesama peserta pameran.

Berkah Setelah Diliput
Pameran di Citos juga membawa berkah lain buat James. Beberapa media elektronik mewawancarinya. Setelah itu beberapa media cetak menuliskan profil bisnisnya. Dari situ, produknya mulai dikenal luas dan mendapat banyak pesanan termasuk dari luar Jawa, seperti Jambi, Padang dan Surabaya.
Saat ini, James baru sebatas mengerjakan pesanan saja. Maklum, pengerjaan semua produknya masih dikerjakan dengan sentuhan tangan alias handmade.
Dengan dibantu 10 orang karyawan dan 2 tukang lukis, kapasitas produksi Really me per bulan baru mencapai 20 furnitur besar dan 100 buah hiasan dinding. Harganya dipatok mulai dari Rp35 ribu sampai Rp1,3 juta (belum termasuk ongkos kirim). “Pelanggan terbesar saya, selain perorangan adalah sejumlah sekolah TK internasional dan dokter anak,” jelas pria berdarah Minahasa berusia 33 tahun ini.
Di luar produk tadi, James sebenarnya memasarkan jual perhiasan (jewelry) seperti gelang, kalung, anting-anting yang khusus dibuat sang adik untuk segmen ibu dan anak. Harga jualnya mulai dari Rp80 ribu sampai Rp1,5 juta (kristal).
Semua pengerjaan produk, mulai dari desain sampai pengecatan, semuanya dilakukan James dan karyawannya di pavilion rumah orang tuanya di kawasan Tebet Barat Dalam, Jakarta. “Selain workshop, disini juga jadi tempat pamer. Untuk sementara saya nggak mau cari ruang pamer seperti di Kemang dulu. Biarlah yang lalu jadi pelajaran untuk usaha saya,” kata James yang juga pernah ikut pameran di ICRA, Smes’Co dan di Pacific Place, Ramadhan lalu.
Saat ini, omzet Really me rata-rata bisa mencapai Rp20 jutaan sebulan. Namun, di masa pameran atau menjelang Lebaran kemarin, omzetnya bisa lebih besar lagi.
Soal persaingan, James mengaku tak menemukan pesaing yang sama. “Memang ada produsen yang membuat juga dengan teknik hand printed, tapi tetap saja beda dengan produk saya. Makanya saya tidak takut (bersaing) karena saya percaya produk kami lebih bagus kualitasnya,” tandas pria yang sempat bekerja di perusahaan periklanan ini. $ AGUSTAMAN

Baca Selengkapnya..

Pasarnya Kelas Atas Dalam dan Luar Negeri

Diposting oleh Agustaman | 13.39 | 0 komentar »

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 05/Mei 2008)

Memulai bisnis tidak disengaja, Fiya Trissia kini dikenal sebagai produsen perhiasan dan aksesoris fashion untuk kelas atas. Produknya sering dipamerkan di mancanegara.

“Kalau mau wawancara dan memotret produk, saya tunggu kedatangan Anda secepatnya di rumah. Soalnya, sebentar lagi saya harus mengepak jualan saya. Mau dibawa pameran ke Polandia awal Mei ini,” begitu pesan Fiya Trissia di seberang telepon kepada DUIT! belum lama berselang.

“1st Indonesia Expo in Central and East Europe” yang berlangsung di ibukota Polandia, Warsawa pada 8-10 Mei 2008 adalah ajang pameran yang dimaksud Fiya. Fiya hanyalah satu diantara puluhan perajin lainnya asal Indonesia yang bakal memenuhi stand di ajang pameran untuk pasar Eropa Tengah dan Timur tersebut. Bagi Fiya sendiri, berpameran di mancanegara memang bukan sekali ini saja. Perajin perhiasan mutiara dan permata serta aksesoris fashion lainnya ini juga pernah memajang produknya bersama produsen dan perajin Indonesia lainnya di Los Angeles, Amerika Serikat; Tokyo, Jepang (dua kali); Mumbai, India; Hamburg, Jerman; dan Milan, Italia. Ini belum termasuk ajang pameran yang diikutinya di dalam negeri. Di negeri sendiri, dia juga kerap mengikuti ajang pameran besar dan bergengsi, seperti Inacraft, ICRA, Indo Craft, Gelar Batik Nusantara, dan Woman International Club.

“Lewat pameran inilah saya bisa meluaskan pasar dan mencari buyer-buyer baru, terutama dari asing,” papar perajin yang menjadi binaan Departemen Peridustrian sejak 2006 karena ajang pameran di luar negeri itu. “Tapi itu bukan berarti saya melupakan pasar lokal. lho,” sambung perajin yang membidik pasar menengah atas ini. Sebagai informasi saja, produk buatan tangan Fiya dan para karyawannya ini kerap menjadi langganan ibu-ibu pejabat dan para selebritis. Beberapa nama artis seperti Emilia Contessa, Hetty Koes Endang, Dorce Gamala, menjadi pelanggan setia produk perhiasan Fiya. Produknya juga kerap dipakai para presenter perempuan di tayangan infotainment beberapa staisun televisi tanah air.

“Jujur, sebenarnya bisnis ini dimulai secara tak sengaja. Waktu itu, sekitar tahun 2000-an kalung kristal swaroszky anak saya Fika terbengkalai rusak di kamar. Lalu saya coba perbaiki, memodifikasi kalung itu jadi gelang. Gelang itu jadi perhiasan saya sehari-hari,” cerita ibu dua anak ini.

Suatu hari Fiya hadir dalam sebuah arisan ibu-ibu di lingkungan rumahnya. Seorang ibu tertarik dengan gelangnya dan minta dibuatkan gelang sejenis. Ibu-ibu lain pun memesan perhiasan serupa. Dari sinilah awal bisnis perhiasan istri Didi Mulyadi, seorang kontraktor, ini berjalan.

Demi Kepuasan Pelanggan

Semula, perempuan bayu berusia 44 tahun ini hanya menerima pesanan-pesanan dari para tetangga, teman dan kerabatnya di rumah. Di rumahnya yang cukup besar di bilangan Bangka IX, Jakarta Selatan (kini dia sudah pindah ke Bangka XI C) Fiya mengerjakan sendiri pesanan itu, mulai membeli bahan, membuat sampai mengantarkan barang serta mengurus keuangan. Tapi, ketika pesanan mulai bertambah dan dia tak sanggup lagi mengerjakan sendirian, Fiya akhirnya mencari tenaga tambahan. Mulanya hanya satu pekerja. Namun, seiring meningkatnya pesanan, jumlah karyawan pun bertambah. Saat ini tercatat ada 6 orang karyawan yang siap membantu Fiya memproduksi kalung, anting, gelang, bros dan tusuk konde.

Fiya mengaku, untuk membuat perhiasan yang bisa memuaskan pelanggannya, dirinya tidak pernah memperhitungkan nilai materiilnya. Semahal apapun bahan itu, bakal dia pakai di karyanya. Inilah yang terkadang membuat perhiasan dan aksesoris buatannya berharga tinggi. “Tapi, kalau pelanggan biasanya tahu dengan mutu barang saya,” ujar Fiya yang kerap memakai batu kristal swaroszky, mutiara air tawar, dan batu-batu alam mahal lainnya ini pada produk buatannya. Sebagian besar bahan baku itu masih impor dari Austria dan beberapa negara lain.

Namun, tak sedikit konsumen yang kurang tahu kualitas barang, akan menawar produknya dengan harga rendah. Fiya juga tak memungkiri, ada beberapa pesaing yang membuat produk serupa dengannya tapi dengan batu-batu imitasi. Padahal, kalung atau gelang asli dan imitasinya bisa berbeda harga sampai 3-5 kali lipat. Tapi, kualitas barang palsu tidak terjamin. Contoh soal kristal swaroszky yang asli dari Austria dengan yang palsu dari China. Yang asli lebih bercahaya, tidak bisa tergores dan lebih kuat.

“Tapi kalau konsumen yang sudah menjadi pelanggan tetap, mereka sudah tahu kualitas barang saya. Jadi berani membeli berapapun meski harganya tinggi,” papar perempuan berdarah Padang-Makassar ini. Uniknya, untuk para pelanggan setianya Fiya sudah tahu selera masing-masing. Sehingga, cukup pelanggan bilang seperti ini: bros berbentuk oval, warna coklat, terbuat dari mutiara, permata, maka Fiya sudah bisa menebak keinginan sang pelangan, berikut harga yang cocok. “Tak cuma sekali pelangan menelpon, lalu suruh saya tonton acara infotainment di TV saat itu, dia bilang, saya mau kalung seperti yang dipakai artis itu. Bisa dibikinin khan?” ucapnya sambil tertawa kecil.

Saat ini, harga produk Fiya dibanderol dengan harga mulai dari Rp200 ribuan sampai Rp3 jutaan per untai. Makin besar perhiasan itu, makin banyak batu-batu mahal yang dipakai, makin rumit pembuatannya, maka harganya akan makin tinggi.

Dengan 6 karyawan tadi. Fiya mengaku bisa memproduksi 200 pieces perhiasan per bulan. Jumlah itu kebanyakan pesanan pasar lokal, sisanya sekitar 30 lusin diekspor ke pasar Spanyol dan Amerika Latin.

Setiap hari Fiya terus berkarya menciptakan karya yang baru. Maklumlah, saat ini produsen atau perajin seperti dirinya sudah banyak. Jika dirinya tidak kreatif, maka karyanya sudah ditiru rang lain. “Satu hal yang menjadi kunci sukses bisnis kerajinan tangan ini adalah rajin dan tekun. Kalau tidak sabar, maka produk yang dibuat kelihatan tidak cantik,” katanya memberi kiat.

Satu kiat lagi darinya adalah jadilah diri sendiri. Setiap orang punya ciri khas, sehingga pasti berbeda dengan karyawa orang lain. Konsumen akan bisa membedakan antara karya satu orang dengan karya lainnya.

Kini, modal awal sebesar Rp500 ribu telah berkembang biak. Sehingga bisa menghasilkan omset (di luar pameran) Rp30 juta setiap bulan. Namun, semua itu tak membuatnya berpuas diri. “Suatu saat saya ingin buka showroom sendiri di luar rumah. Tapi, karena pada dasarnya saya ini orang rumahan, menjadi ibu rumah tangga sambil mengurus suami dan mengawasi anak-anak yang sebenarnya sudah besar, rencana itu masih sebatas rencana saja. Karena untuk berbisnis ini saja bukan terpaksa, semuanya dilakukan karena hobi, enjoy dan fun. Kalau ada keuntungan, itu namanya rezeki dari Allah,” ucapnya mengakhiri perbincangan dengan DUIT! $ AGUSTAMAN

Baca Selengkapnya..

Gemericik Bisnis Air terjun Mini

Diposting oleh Agustaman | 13.27 | 0 komentar »

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 03/Februari 2008)

Bersama sang suami, Rita Aprianti mewujudkan ide landscape mini air terjun dalam gentong yang mudah dipindah-pindah. Kreasinya sudah mendapatkan penghargaan dan melanglang buana ke mancanegara

Mendengarkan suara gemericik air terjun di dalam rumah atau ruangan kantor, boleh jadi kita akan terbuai dengan suasana alam yang membuat batin tenang. Bahkan, untuk mendapatkan suasana seperti air terjun aslinya, beberapa orang membuat air terjun buatan di rumah atau kantornya. Sayangnya, air terjun buatan tersebut susah dipindahkan bila suatu saat si empunya rumah atau kantor akan pindah tempat.
Pengalaman seperti itu pernah dirasakan oleh satu keluarga sahabat Rita Aprianti. Ceritanya, sang teman yang akan pindah rumah enggan meninggalkan landscape air terjun di taman rumahnya. “Mau ditinggal sayang. Kalau dibawa juga susah, pasti harus dihancurkan dulu karena sudah permanen,” kisah Rita, pemilik usaha Curug Gentong kepada DUIT!
Kesusahan sang teman membawa landscape air terjunnya tadi, ternyata menjadi berkah buat Rita. Dia mengaku justru menemukan ide bagaimana supaya landscape air terjun buatan bisa dibawa kemanapun kita mau tanpa harus membongkarnya dulu.
“Ide itu saya utarakan ke suami, Rery Endrico yang kebetulan punya bakat sebagai seniman. Kami kemudian mewujudkannya dalam bentuk landscape taman mini plus air terjunnya di dalam wadah terbuka berbentuk mangkuk gerabah dan mangkuk pot bunga,” papar Rita yang pada tahun 2003 memulai usaha dengan modal Rp5 juta.
Dari wadah terbuka, Rita dan suami kemudian mencoba membuatnya dalam wadah gentong yang dibelinya dari penjual tanaman. Gentong yang masih utuh kemudian satu sisi badannya dilubangi dengan alat khusus. Di dalam gentong itulah, Rico membuat landscape air terjun lengkap dengan tanaman plastik dan aksesoris lainnya. Untuk mengalirkan air terjun, Rico memakai mesin sirkulasi air. Keduanya lalu sepakat, produk tersebut menjadi trademark dan nama usaha mereka, “Curug Gentong.”
“Curug dalam bahasa Sunda itu berarti air terjun. Gentong jadi mediannya. Jadi, curug gentong berarti air terjun dalam gentong. Kami memang ingin menghadirkan suara gemericik air dalam rumah, untuk menenangkan batin pemiliknya,” kata Rita yang sebelum membuka usaha Curug Gentong sempat berjualan busana muslim dan kebutuhan rumah tangga.
Pada saat yang sama (2003) Pemkot Depok membuat pengumuman di beberapa media bahwa usaha rumahan yang berada di wilayah Depok bisa mendaftarkan usahanya ke Pemkot. Rita tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Meski produknya masih bisa dihitung dengan jari, dia tetap mendaftarkan usaha dan produknya ke kantor Pemkot Depok. “Saya ingat waktu itu mereka bilang, oh ini produk baru dan unik, oke silakan didaftarkan,” kenang ibu dua anak yang sudah menginjak remaja ini.
Tak hanya terdaftar sebagai usaha rumahan, Curug Gentong juga dimasukan sebagai mitra binaan Pemkot Depok. Bahkan, Pemkot membantu Rita untuk melegalisasi (mempatenkan) produknya. Sebagai mitra binaan, Curug Gentong diikutsertakan ke berbagai pameran yang difasilitasi Pemkot.
Dari situlah nama Curug Gentong mulai terdengar khalayak. “Tapi pesanan pertama justru datang dari teman-teman pengajian. Yang lain-lain mulai menyusul, seperti pesanan dari Dinas Koperasi dan UKM Depok 10 buah untuk kantor-kantor di Pemkot Depok,” jelas Rita.

Produknya Melanglang Buana
Ketika pesanan mulai banyak, Rita pun mulai menambah karyawan. Saat ini Rita mempekerjakan tiga orang karyawan di luar suaminya yang rela melepaskan status karyawan di perusahaan swasta dan kini bahu membahu bersama sang istri sebagai wiraswasta.
Pameran kecil dan besar juga diikutinya, seperti pameran yang diadakan Dekranasda Depok, Smes’co, Indonesia Expo, ICRA dan Inacraft. Bahkan, beberapa media menyambangi rumahnya untuk meliput usahanya. Hal ini membuat produknya makin dikenal. Beberapa selebritis seperti Tukul dan Mila Karmila adalah beberapa selebritis yang mengoleksi produk Curug Gentong. Sebagian produknya juga sudah melanglang buana ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura, New Zealand, Filipina dan Jepang. Para pembeli asing ini sebagian membelinya ketika pameran dan sebagian lagi lewat orang lain.
“Kami memang menyasar pasar menengah atas,” ujar Rita yang mematok harga mulai dari Rp150 ribu-Rp700 ribu (curug gentong dan media terbuka).
Produk Curug Gentong yang pernah mendapat penghargaan dari pemkot Depok dan Juara III Kreatifitas Terbaik se-Jabar (2006) ini, jelas Rita, kini lebih banyak mengerjakan produk pesanan. Dalam sebulan, Curug Gentong bisa memproduksi sebanyak 50 item per bulan untuk memenuhi pesanan dari berbagai daerah di Indonesia. $ AGUSTAMAN

Baca Selengkapnya..

Celana Hawaii Buatan Tangerang

Diposting oleh Agustaman | 20.47 | 16 komentar »

(tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 06/III/Juni 2008)


Sejak masa pacaran, pasangan Lazim-Siti Fatimah memproduksi aneka celana Hawaii (celana pendek) dan pakaian anak, remaja dan dewasa untuk para pedagang grosir di Tanah Abang, Cipulir dan Jatinegara. Omsetnya sudah Rp80 juta per bulan

Kisah pasangan Lazim-Siti Fatimah nampaknya layak ditiru pasangan lain. Bayangkan, sejak masa pacaran keduanya sudah merintis jalan menjadi entrepreneur. Kini, pasangan yang sudah dikaruniai satu anak ini makin berkibar dengan usaha konveksinya. Dari usaha rumahan yang dilakukannya, kedua kini menjadi pemasok untuk para pedagang di pusat-pusat grosir pakaian di Jakarta.

Kisahnya dimulai ketika medio1997 Indonesia dilanda krisis moneter. Tak sedikit para pekerja yang kehilangan pekerjaannya karena terkena PHK. Sadar akan resiko yang mungkin menimpanya kelak, Lazim yang waktu itu masih kuliah di semester 3 jurusan ekonomi di Universitas Budi Luhur, Jakarta, terpikir untuk membuat usaha sendiri. “Terpikirnya kami mau bikin konveksi, memproduksi celana pendek karena waktu itu calon mertua punya kios yang jual celana di pasar Cipulir. Hitung-hitung ini multi nyambi, nyambi kuliah, nyambi pacaran dan buka lapangan pekerjaan,” kisah Lazim kepada DUIT!

Maka, bermodal uang Rp300 ribu hasil penjualan kalung emas milik sang pacar, Siti, kaduanya sepakat membeli satu unit mesin jahit seharga Rp120 ribu dan mesin obras bekas seharga Rp70 ribu. Sisanya, dibelikan bahan kain dan bahan baku lainnya di Tanah Abang. Setelah merekrut satu tetangganya seorang penjahit., mereka mulai memproduksi celana pendek yang mereka sebut celana Hawaii karena motifnya yang warna-warni. Waktu itu produksinya masih di rumah Siti di kawasan Pondok Aren, Tangerang.

Produksi perdana sebanyak 3 kodi awalnya hanya dipasarkan ke para tetangga. Sebagian juga dititipkan ke toko milik ibunda Siti. Tak dinyana, produksinya disukai konsumen. Bahkan, tiga bulan kemudian produksinya mulai ditambah. Penjahit juga tambah satu orang. “Sejak itu saya yakin produk kami bisa lebih laku. Maka, saya coba tawarkan ke pedagang di pusat grosir Tanah Abang. Alhamdulillah, ada satu pedagang yang memesan 9,5 kodi. Setelah habis, dia pesan lagi 20 kodi katanya mau dikirim ke daerah. Sambil pesan, dia kasih uang untuk saya pakai beli bahan. Sebagian keuntungan itu saya putar lagi untuk modal usaha,” papar Siti.

Pasangan yang menikah pada 2006 ini bahu membahu membesarkan usaha. Tak hanya celana Hawaii, tapi juga pakaian anak, remaja dan dewasa juga diproduksi. Dengan berkembangnya usaha, saat ini produknya sudah ada di pusat-pusat grosir pakaian di Jakarta, seperti Pasar Cipulir, Tanah Abang, Jatinegara, dan Pusat Grosir Cililitan. Oleh para pedagang itu, sebagian produk Siti-Lazim didistribusikan ke daerah. “Kami pun sudah menerima orderan di rumah dari daerah lewat telepon dan kami pun terbuka untuk kerjasama dengan siapapun,” terang Lazim yang kini sudah punya 25 karyawan ini.

Selain sudah punya karaywan yang jumlahnya lumayan tadi, kini kedua pasangan ini sudah mempunyai 2 unit mesin potong, 2 unit mesin obras, 1 unit mesin karetan, dan 25 unit mesin jahit, 1 unit mesin bordir serta beberapa desain peralatan lain. Dengan semua itu, dalam seminggu mereka kini sudah bisa memproduksi sekitar 250 kodi. Omsetnya diperkirakan mencapai Rp80 juta per bulan.

Kini, setelah menikah dan mempunyai anak, mereka memindahkan produksinya di rumah sendiri di komplek perumahan Graha Bintaro, Tangerang untuk tempat pemotongan kain dan satu rumah yang dikontrak tak jauh dari lokasi tersebut untuk penjahitan.. “Rumah yang kami tempati ini juga hasil usaha konveksi ini lho,” ujar Lazim diiyakan oleh istrinya.

Karena Lazim bekerja sebagai tenaga marketing sebuah bank swasta, Siti lah yang selama ini lebih banyak berperan di bagian produksi. “Alhamdulillah, meski ini awalnya pekerjaan sambilan, tapi sekarang bisa jadi penopang utama ekonomi keluarga dan membuka lapangan pekerjaan buat sebagian orang,” kata Lazim yang akan memasang merek sendiri: “Shaety”, kependekan dari nama usaha mereka CV Shaety Multiartha Permana. “Shae itu baik dalam bahasa Jawa. Ti, diambil dari nama istri. Multiartha bercita-cita usaha ini menghasilkan uang. Sedangkan Permana, nama anak laki-laki kami,” terang pria kelahiran Cilacap, 12 September 1978 ini tentang filosofi nama usahanya. $ AGUSTAMAN

Baca Selengkapnya..

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 06/I/Oktober 2006)

Cukup berkantor di rumah dengan seperangkat komputer dan jaringan internet, Dini Rahma Shanti bisa menjalankan bisnis MLM Bel’Air dengan sukses

Hari belum begitu siang. Suara gonggongan anjing dan celotehan burung kakak tua yang ada di rumah bernuansa asri tersebut nampaknya tak membuat si empunya rumah terganggu. Di beranda samping rumah, Dini Rahma Shanti, si empunya rumah nampak asyik berkutat dengan laptop-nya. Matanya memelototi email-email yang masuk ke situsnya. Sebagian email datang dari orang-orang yang ingin tahu bisnis multi level marketing (MLM) Bel’Air, sebagian lagi member d’BC (Business Chain) Indonesia- jaringan Bel’Air yang didirikannya sejak 2004 lalu.

“Saya merasa, dengan memiliki bisnis sendiri, apalagi bisa dilakukan dari rumah sambil momong anak, merupakan anugerah Tuhan yang sangat besar. Belum lagi kalau mau dihitung dengan penghasilan yang jauh lebih besar ketimbang bekerja kantoran. Dengan bekerja sendiri dari rumah, saya merasa lebih aman dari aksi kriminal di jalan dan kemacetan yang luar biasa. Dan yang penting, bebas dari tekanan atasan yang bikin stress,” jelas alumnus Warcester Polytechnic Institute Massachusetts, AS

Dengan latar belakang teknik elektro, pekerjaan perempuan kelahiran 1972 ini memang tak jauh-jauh dari komputer. Dia pernah bekerja sebagai engineering officer di sebuah perusahaan telekomunikasi asing yang berkantor di Bekasi. Tak lama setelah itu, pada posisi yang sama, dia pindah ke perusahaan lain. Tapi, pengetahuannya soal komputer dan internet marketing justru didapatnya ketika dia harus berhenti bekerja karena kelahiran anaknya. Ketika kembali bekerja, lagi-lagi Dini pun berhadapan dengan pekerjaan berbau informasi teknologi (IT).

Kesenangannya pada dunia IT (internet) menjadikan Dini sering berinteraksi dengan banyak orang. Berbagai tema diskusi yang ada di berbagai milis dia ikuti, terutama soal ibu dan anak. Malah pada 2001 silam, secara “one (wo)man show” dia membuat situs www.dunia-ibu.org. Situs ini mendapat sambutan luar biasa. Dalam suatu diskusi di situs tersebut, Dini bercerita tentang keadaan anak sulungnya yang tak kunjung sembuh terkena penyakit batuk. Seorang anggota diskusi menyarankan dia memakai Bel’Air, produk aroma terapi yang dipasarkan dengan sistem networking. Setelah mencoba memakainya dan berhasil, Dini lalu membagi pengalamannya ke ibu-ibu anggota milis lainnya di internet.

Jadi Bos Untuk Diri Sendiri

Di penghujung tahun 2003, lewat bantuan Dian Paham, teman milis yang akhirnya menjadi up line, Dini memutuskan untuk menjadi distributor MLM Bel’Air. Hanya saja, bisnis MLM yang sebenarnya dijalankan secara offline ini, oleh Dini dilakukan dengan cara on line lewat internet. “Saya terilhami oleh internet marketing yang dijalankan Anne Ahira (dara asal Bandung yang sukses menjalankan bisnisnya lewat internet, red.)” kata Dini yang sempat bergabung dengan Elite Team-nya Anne Ahira. “Lagi pula memasarkan lewat internet kerjanya relatif sederhana. Paling-paling hanya biaya akses internet selama 1-2 jam/hari.”

Hanya dalam kurun waktu 4 bulan menjalani bisnis itu, Dini mulai mendapatkan tambahan finansial di luar gaji pokoknya sebagai karyawan perusahaan IT. “ Terus terang, saya punya pengalaman kurang enak dengan MLM. Namun karena saya merasa bahwa Bel’Air ini berbeda dengan MLM kebanyakan, dimana 99% pasar saya dapat dari internet, saya makin yakin ini bisnis yang sangat bagus,” ujar ibu dari Wahyu Farandi (9) dan Raissa (6) ini.

Kini, seiring dengan tambahan penghasilan yang sudah mencapai angka puluhan juta, Dini yang kini sudah di posisi marquis ( jenjang tertinggi di Bel’Air) tak lagi bekerja di kantoran seperti dulu. Kini, tak ada lagi perintah atasan, karena bos-nya dirinya sendiri. Dengan bekerja di rumah lewat fasilitas komputer dan internet, dirinya bisa punya waktu banyak mendampingi anak-anaknya.

Melalui d'BC Indonesia, Dini yang kini punya sekitar 5 kaki menjalankan dan mengembangkan jaringannya secara on line. “Dari semua kaki saya, hampir semuanya berkomunikasi lewat internet atau telepon. Sedikit yang bisa bertemu langsung. Tapi untuk suplai produk, saya selalu mengirimkan mereka dari Jakarta lewat jasa kurir milik kakak saya,” papar Dini yang menerapkan pola cash on delivery.

Lewat situsnya pula, Dini bisa memberikan sejumlah informasi, petunjuk, dan tips-tips secara lebih detail kepada calon distributor yang tertarik bisnis MLM ini. Bahkan, jika ada yang bergabung bersama d'BC Indonesia, Dini siap memberikan pelatihan gratis selama 35 jam (selama 7 minggu) tentang mekanisme bisnis dan cara melakukan pemasaran, secara on line. “Semua pelatihan ini dikemas dalam bentuk email dan file presentasi yang mudah dimengerti. Semuanya akan menjawab segala macam pertanyaan dan penasaran orang-orang yang membuka web site saya,” tandas Dini mantap. $ AGUSTAMAN



Baca Selengkapnya..

(Tulisan ini pernah saya tulis di Majalah DUIT! edisi 11/II/November 2007)

Aktivis pemberdayaan masyarakat, Menik Sumasroh mengolah dan memasarkan ikan hasil tangkapan nelayan. Dia juga memproduksi aneka minuman tanpa bahan pengawet. Meski pabrik minumannya kebakaran, dia tetap meneruskan usaha.

Ikan asin merupakan produk olahan ikan yang sangat popular dan digemari berbagai kalangan. Namun, sayangnya disinyalir banyak ikan asin yang beredar di pasaran mengandung berbagai bahan kimia seperti formalin dan pestisida yang membahayakan kesehatan manusia. Hal ini dilakukan para perajin dan pedagang dengan dalih untuk menjaga keawetan ikan asin dalam waktu lama.

Pengasinan ikan dilakukan sebagai upaya untuk memanfaatkan ikan yang tidak laku dipelangan, sehingga kualitas bahan baku sudah tidak baik. Produk ikan asin yang dihasilkannya pun akan cepat rusak, apalagi dengan kualitas ikan yang hampir busuk akan mengundang lalat saat ikan asin dijemur. Maka, penggunaan formalin maupun pestisida menjadi jalan keluar karena kekurangan pahaman wawasan mereka untuk mencegah munculnya belatung dan keruskan ikan karena mikroba halofilik.

“Padahal, untuk menghasilkan ikan asin yang awet dan sehat dapat dilakukan tanpa harus menambahkan bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan manusia, asalkan ikan asin diolah secara benar. Garam merupakan bahan alami yang berfungsi mengawetkan selain memberikan rasa asin,” jelas Menik Sumasroh, pemilik Ermen Food Industry.

Didorong rasa keprihatinan tadi, sejak tahun 1998 Menik bersama-sama dengan beberapa temannya yang tergabung dalam LSM Pusat Peran Serta Wanita dan LSM Cerdas Bangsa melakukan pembinaan kepada masyarakat nelayan tangkap dan kelompok wanita pengasinan untuk membuat ikan asin yang memenuhi standar kualitas pengolahan pengan yang baik dan benar (tanpa bahan pengawet).

Berawal dari keterlibatannya di kelompok nelayan yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia, Menik kemudian mengambil produk ikan asin dari mereka, mengemasnya di rumah lalu menjualnya ke konsumen.

“Satu setengah tahun yang lalu ketika maraknya berita soal makanan berformalin, saya membeli produk ikan asin binaan LSM kami ke rumah. Saya kemas sendiri dengan merek Civa lalu memasarkannya ke masyarakat, lewat perorangan, outlet, restoran, katering dan hotel,” cerita Menik yang juga Ketua LSM Pusat Peran Serta Wanita dan Sekjen LSM Cerdas Bangsa ini kepada DUIT!.

Ternyata peminat ikan asin cukup tinggi, terbukti dari produksi ikan asin yang Menik lakukan cukup diminati konsumen. Meskipun awalnya mereka ragu-ragu memilih ikan asin karena takut mengandung formalin, tapi dengan penjelasan yang meyakinkan para penggemar ikan asin kembali mengonsumsinya.

“Dalam sehari rata-rata saya dapat menyediakan 25 jenis ikan asin sebanyak Rp150 kg, mulai dari teri nasi, gabus, sampai jambal roti. Ikan teri nasi dan jambal roti yang paling diminati konsumen,” papar sarjana Teknologi Pangan IPB yang mengaku bisa mengantungi omzet Rp4 juta/hari dari jualan ikan asin.

Tak hanya ikan asin yang diproduksi Menik. Ibu lima anak ini juga memproduksi aneka olahan ikan asin, seperti balado ikan kipas-kipas, balado teri, teri bawang kacang dan dendeng ikan. Belakangan, Menik yang dibantu tiga karyawannya di rumah juga memproduksi aneka olahan bandeng.

“ Untuk ikan bandeng ini, saya ambil dari binaan nelayan di Muara Gembong, Bekasi karena kebetulan saya membuat madrasah tsanawiyah di sana, juga dari nelayan Selo Sendang, Tangerang,”sambung mantan pengajar bimbingan belajar ini.

Semua produk ikan asin dan bandeng tersebut, dia jual mulai harga Rp2.500-Rp80.000 per kemasan (berat satu kemasan biasanya seperempat kilo).

Menurut perempuan kelahiran Semarang, 1970 ini prospek bisnis ikan asin sebenarnya cukup bagus. Selain pangsa pasarnya masih luas, sumber bahan bakunya pun melimpah di wilayah perairan nusantara. Jika usaha ini dilakukan optimal, kelak produk ikan asin tak perlu diimpor lagi seperti yang dilakukan Indonesia saat ini.

“Bukan itu saja. Bila itu dilakukan optimal, kebutuhan ikan asin bisa terpenuhi. Nelayan pun sejahtera karena hasil tangkapannya dapat terpasarkan semua. Sehingga mereka bisa keluar dari jaringan tengkulak,” beber mantan asisten dosen di almamaternya ini.

Musibah Kebakaran

Selain memproduksi ikan asin dan bandeng olahan, Menik ternyata sudah memproduksi aneka minuman dalam kemasan, seperti nata de coco (sari kelapa), aloe vera (lidah buaya), sirup rumput laut, orange juice, sari asem, teh dan kopi. Menik juga memproduksi vegetable snack seperti keripik wortel dan keripik jamur tiram.

Menik memulai usaha aneka minuman dan vegetable snack sejak 1997 silam. “Awalnya saya memproduksi nata de coco karena ketika itu makanan ini belum banyak dibuat orang. Kebetulan saya bisa mengolahnya dan bahan bakunya melimpah,” cerita Menik yang memulai usahanya dengan uang Rp500 ribu hasil utangan dari perkumpulan arisan di rumahnya.

Semula dia mengerjakan sendiri di rumahnya di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur. Ternyata produk yang ketika itu masih jarang dibuat orang disukai tetangga, teman dan kerabatnya. Pesanan pun makin banyak. Sejak itulah dirinya mulai berpikir untuk memproduksi secara massal.

“Dari duit yang terkumpul hasil perputaran penjualan, kemudian saya beli lahan di Cakung untuk saya jadikan pabrik kecil-kecilan. Saya beli mesin pengolah dan menambah karyawan sampai berjumlah 34 orang,” kata istri dari Eri Mulyorinawan, seorang wiraswastawan.

Dari pabrik itu tak hanya nata de coco yang diproduksi. Menik juga mulai memproduksi aneka minuman dalam kemasan lainnya. Produknya tersebut dijual ke beberap agen/distributor consumer good di Jakarta dan sekitarnya. Bahkan, ada juga produsen sejenis yang memesan ke pabrik milik Menik, dan menjualnya lagi dengan merek mereka sendiri.

Seiring bertambahnya pesanan, Menik lalu mendirikan satu lagi pabrik sejenis di Tajurhalang, Cijeruk, Bogor. Dengan jumlah karyawan 16 orang, pabrik ini lebih banyak memproduksi minuman orange juice dan sari asem.

Namun, malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih. Tahun 2005, pabriknya yang di Cakung kebakaran akibat kecerobohan pemilik warung bakso yang bersebelahan persis dengan pabriknya. Meski, omzet produk minumannya tak seperti sebelumnya (sebelumnya bisa lebih dari Rp25 juta/bulan), Menik tak menangini nasib. Dia tetap menjalankan usahanya meski untuk itu dia harus “meminjam” pabrik ke orang lain untuk memproduksi aneka minuman dan menawarkan rumahnya untuk dibeli orang lain.

“Bagaimanapun saya masih punya kewajiban untuk menutup kewajiban ke pemasok. Sementara pembayaran dari para pelanggan saya pun masih belum mereka lunasi semua. Makanya, dengan berat hati rumah yang kami tempati sejak 1995 ini mau dijual demi kewajiban itu. Tapi, sebagai orang beriman saya percaya Allah akan memberi rezeki buat umatNya yang berusaha benar di jalan Allah,” tutur Menik dengan mata berkaca-kaca. $ AGUSTAMAN


Baca Selengkapnya..

Mengemas Souvenir dalam Wadah Cantik

Diposting oleh Agustaman | 14.31 | 3 komentar »

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 02/III/Februari 2008)


Dibantu enam karyawan, Dosy Rahmad memproduksi aneka boks cantik pesanan beberapa perusahaan ternama. Dia iklas memberikan pengetahuannya lewat pelatihan pembuatan produk/kemasan supaya bernilai jual tinggi buat para pengusaha UKM.

Jarak Bekasi Barat dengan kawasan Kebon Nanas, Jakarta Timur apalagi melewati jalan raya Kali Malang yang kerap macet, sebenarnya relatif cukup jauh dan melelahkan. Namun, hal tersebut tak menghalangi Dosy Rahmad menyambangi anak buahnya di sebuah rumah di Komplek AL, Jl. D.I Panjaitan Bypass. Maklumlah, di rumah sekaligus workshop tersebut, enam anak buah Dosy sehari-hari mengerjakan kerajinan tangan pembuatan aneka souvenir boxes pesanan beberapa perusahaan.

“Bagaimanapun sibuknya saya, sesekali harus datang ke workshop untuk melihat kerja karyawan. Walaupun sudah bisa 'dilepas', tapi untuk urusan desain dan administrasi tetap saya yang menangani,” papar Dosy kepada DUIT! Apalagi, katanya, dia harus menyelesaikan pesanan aneka boks dari sebuah perusahaan terkenal yang kini sudah masuk tahun kedua.

Setahun belakangan ini Dosy memang harus membagi waktunya antara bekerja sebagai karyawan di perusahaan kontraktor Adimix dan mengawasi usaha yang dirintisnya sejak tahun 2000 silam. “Kebetulan saat ini perusahaan saya sedang mengerjakan proyek pusat perbelanjaan di Bekasi,” sambung arsitek lulusan Universitas Persada Indonesia YAI, Jakarta ini.

Sebagai arsitek, Dosy sudah terbiasa membuat maket properti dari bahan-bahan kertas, karton maupun plastik. Tapi, justru dari situlah dia tertarik membuat boks dari bahan baku karton. Alasannya, mudah dibuat karena hanya butuh karton, cutter, penggaris besi, pulpen dan lem. Selain mudah dibuat, bahan bakunya mudah didapat dan murah. Mengaku belajar secara otodidak, Dosy lalu mencoba sebuah produk boks dengan karton hard board, melapisinya dengan kertas printing dan kertas daur ulang.

“Waktu itu hasilnya, menurut saya, sudah lumayan. Karena, waktu saya bawa ke teman-teman, mereka minta dibikinin. Mulai dari situlah saya dapat order kecil-kecilan,” ujar Dosy yang memulai usahanya pada tahun 2000 dengan modal hanya Rp50 ribu saja. Dia menamai usahanya dengan nama “Ide Dosi”.

Seperti peribahasa bilang, sedikit-dikit lama-lama jadi bukit, begitulah usaha Dosy. Dari satu order kecil, lama-lama dapat order besar. Order bertambah, karena Dosy mengaku ikut rajin pameran di beberapa tempat untuk memperkenalkan produknya ke konsumen.

Pesanan pertama yang lumayan jumlahnya datang dari perusahaan tambang besar Rio Tinto. Tak lama kemudian, BCA juga meminta produknya sebagai souvenir gift buat para nasabahnya. Untuk mengerjakan pesanan besar tadi, Dosy meminta bantuan teman-temannya. Ketika itu dia masih mengerjakan di rumahnya, kawasan Kali Malang, Jakarta Timur.

“Dulu kalau lagi banyak order, kami bisa mengerjakan sampai belasan orang, lho!,” terang Dosy yang kemudian memindahkan workshop-nya ke rumah kosong milik tantenya di komplek AL, Kebon Nanas, Jakarta. Apalagi, sambungnya, ketika itu Ide Dosi masih memasok untuk toko cindera mata, Chicmart, di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta. Toko tersebut cukup ramai dikunjungi pembeli yang kebetulan berbelanja di Carrefour Kuningan. Tapi, ketika Carrefour harus pindah ke kawasan Casablanca, toko tersebut menjadi sepi. Dan itu berdampak juga buat produksi Ide Dosi.

“Sekarang anak buah saya tinggal enam orang karena memang ada penurunan pesanan. Tapi, jika ada order besar lagi, pasti saya tambah orang,” kata pria berdarah Flores kelahiran 1975 ini.

Tak Melayani Retail

Dengan ditutupnya toko Chicmart yang dulu dipasoknya, Dosy mengaku dirinya kini tak melayani lagi pesanan retail. Dia hanya melayani pesanan besar dari beberapa perusahaan ternama. Saat ini, Ide Dosi sedang mengerjakan pesanan aneka boks dari pihak ketiga, Amaralis Floral & Party Decorator. Perusahaan yang didirikan oleh Atika Shahab ini memesan untuk kliennya, antara lain Standart Charter dan Citibank. Khusus Citibank, kata Dosy, produk yang dikerjakannya sudah masuk tahun kedua.

Di luar itu, Dosy juga menerima pesanan dari beberapa pembeli yang kebanyakan perusahaan, seperti perusahaan kosmetik dan advertising. “Umumnya mereka memesan untuk produk yang mau diluncurkan ke konsumen. Ada juga untuk corporate gift,” ujar suami dari Yogiswari Pradjanti, produsen keramik ogiYogi.

Dosy juga rajin ikut ajang pameran, semisal di Inacraft dan beberapa pemaran yang diadakan Dekrasda DKI dan Sudin Perdagangan Jakarta Timur. “Kami menjadi binaan mereka. Jadi kalau ada pameran selalu diajak. Waktu ikut pameran Inacraft 2006 dan 2007 kemarin juga atas kebaikan binaan kami tadi,” jelas Dosy.

Saat ini Dosy sudah meluncurkan ratusan item boks dengan berbagai model dan bahan pelapisnya. Bahan baku utama boks buatan Dosy adalah kertas karton hard board (ketebalan mulai 1,5 ml-4 ml) yang dia dapatkan dari pemasok di Tanah Abang dan Mangga Dua, Jakarta. Terkadang dia juga memakai bahan baku MDF (semacam triplek berbahan baku bubur kayu alias particle board). Sedangkan untuk melapisinya, Dosy memakai kertas printing/fancy, kertas daur ulang, dan kulit sintetis.

Untuk penjahitannya (karena ada beberapa model pelapis harus dijahit), Dosy memanfaatkan penjahit freelance yang dikenalnya. “Kalau ordernya kecil, ya dikerjakan sendiri. Tapi kalau banyak, mesti diorder ke lain tempat. Untuk potong kertas misalnya, kita minta tolong ke pemasok supaya langsung di potong sesuai ukuran yang diminta. Kami tinggal melipat dan mengelem saja,” kata Dosy yang punya 5 mesin (antara lain mesin jahit dan mesin embos).

Dengan kapasitas produksi 500-1000 boks per bulan dan harga jual mulai dari Rp10.00 ribu-Rp250 ribu/boks, Dosy mengaku bisa mengantungi keuntungan bersih rata-rata Rp50 juta per bulan.

“Pasar produk ini sebenarnya masih luas. Bahkan, terkadang sesama pemain kita justru kerjasama dan saling membantu. Misalnya, kalau satu kelebihan order tapi tak sanggup mengerjakan sendirian, dibagi ke pemain lain. Begitu juga, kalau dia menerima pesanan tapi barang kosong, dia lari ke tempat lain,” papar Dosy yang masih menyempatkan diri memberikan pelatihan dan workshop tentang pembuatan kemasan supaya bernilai jual tinggi untuk para pengusaha UKM di Dekranasda DKI ini. $ AGUSTAMAN.



Baca Selengkapnya..

Meritis Usaha Sejak Kuliah

Diposting oleh Agustaman | 15.51 | 3 komentar »

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT edisi 1/III/Januari 2008)


Sejak kuliah di Bandung Anissa Kunthi sudah membuka usaha pembuatan tas bersama teman-temannya. Kembali ke Jakarta, dia meneruskan sendiri usahanya dengan nama Quntee.

Anda penggemar wayang pasti kenal nama Dewi Kunthi, salah satu ibu dari Pandawa Lima. Tapi, pernahkah Anda mendengar nama Quntee (dibaca Kunthi)? Meski bernama agak mirip, tapi Quntee yang satu ini adalah nama merek tas buatan Anissa Kunthi, seorang entrepreneur muda yang sudah menjajakan tas buatannya sejak di bangku kuliah.

“Nama Quntee, diambil dari nama tengah saya, dipelesetkan sedikit seperti bahasa Inggris, Kunthi menjadi Quntee. Ibu saya memberi nama Kunthi karena memang beliau terispirasi dari tokoh wayang Dewi Kunthi,” papar Anissa membuka percapakan dengan DUIT!

Dara berwajah manis ini nampaknya mewarisi bakat ibunya sebagai wirausaha. Sang ibu, Yayuk Sugiharto, sudah lama dikenal sebagai pengusaha butik “Nissa” yang memproduksi dan menjajakan busana perempuan dan pengantin serta aksesorisnya. “Sejak kecil saya sudah biasa melihat ibu membuat dan berjualan pakaian di rumah. Jadi, kalaupun saya seperti ini, tidak usah heran. Bahkan adik lelaki saya juga mulai ikut-ikutan berbisnis fashion,” jelas sulung dari dua bersaudara pasangan Yayuk dan Sugiharto.

Maka, jadilah kini rumah tinggal keluarga Sugiharto, seorang pensiunan pegawai Bappenas, menjadi butik “Nissa” dan sekaligus showroom “Quntee”. Sementara untuk produksi, Anissa memanfaatkan rumah milik orang tuanya (di samping rumah induk). Dibantu seorang seorang karyawan yang kebagian tugas menjahit, Anissa memproduksi aneka produk tas perempuan dari bahan sintetis.

Pakai bahan sintetis, karena bahan bakunya tidak semahal kulit dan mudah dicari. Harga jualnya juga terjangkau para cewek ABG atau perempuan yang suka fashion,” jawab dara kelahiran Jakarta, 12 Januari 1981 ini ketika ditanya alasannya memakai bahan sintetis. Sampai saat ini, tak kurang dari 150 model tas sudah diproduksi Anissa, mulai dari jenis clutch bag (tas genggam), sling bag (selempang), tote bag (tas tangan) sampai jenis ransel untuk perempuan.

Sejatinya, perempuan yang mengaku sejak kecil senang dengan dunia fashion ini merintis usahanya sejak duduk di bangku kuliah di Bandung. Di ibukota provinsi Jawa Barat tersebut, Anissa tercatat sebagai mahasiswa FISIP UNPAD jurusan Hubungan Internasional. Di sela-sela waktu pembuatan skripsi, Anissa menyempatkan ikut kursus di Pusat Pendidikan Desain Bandung (PPDB) untuk menyalurkan bakatnya di bidang fashion. Nah, bersama teman-teman di PPDB itulah Anissa mulai merintis usaha.

“Sekitar tahun 2005, kami berempat coba-coba bikin tas dan sepatu sendiri dengan merek Jam. Dengan modal patungan juga, produk itu kami jual di toko yang lahannya juga kami beli. Produk kami cukup diminati anak-anak muda Bandung, bahkan Jakarta,” papar dara bernama lengkap Anissa Kunthi Kusumawardhani.

Sayangnya, usaha tersebut tidak langgeng. Alasannya, kata Anissa, dua teman kongsinya mengundurkan diri karena akan menikah. Seorang lagi ingin membuka butik sendiri. Jadilah dia dan satu teman tersisa meneruskan usaha. Tapi juga tidak lama, karena selesai kuliah Anissa harus kembali ke Jakarta. Toko akhirnya dijual dan hasilnya dibagi. Uang itulah yang kemudian dipakai Anissa untuk menambah modal membuka usaha sendiri di Jakarta.

Produk Berani Bersaing

Di Jakarta, Anissa yang mengaku tidak memanfaatkan sarjana S1-nya untuk mencari pekerjaan. Dia justru terpacu untuk menjadi entrepreneur, punya usaha dan membantu orang lain yang belum punya pekerjaan.

“Mungkin sudah garis tangan saya menjadi wirausahawan seperti ibu saya. Dari Bandung, saya langsung pengin buka usaha di Jakarta. Tetap di usaha fashion, tapi kali ini saya fokus di pembuatan tas perempuan,” tutur Anissa.

Bermodal Rp15 juta hasil tabungannya semasa membuka usaha di Bandung, Anissa mulai dengan dua mesin jahit dan seorang penjahit. Dia juga mulai membeli bahan-bahan baku, seperti kulit sintetis, benang, dsb di kawasan Mangga Dua, Jakarta.

Produknya, sebagian dia titipkan di butik “Nissa” milik ibunya, sebagian lagi dia pasarkan sendiri lewat ajang pameran dan pertemanan. Belum lama berselang, dia juga membuka outlet di pusat perbelanjaan ITC Permata Hijau, Jakarta.

Di tengah persaingan produk tas pabrikan besar dan produk impor dari China dan Hong Kong, produk miliknya diakui Anissa cukup diminati konsumen. “Soal desain dan harga, produk Quntee bisa bersaing dengan produk sejenis yang branded asli atau aspal dari China atau Hong Kong. Banyak ibu-ibu pejabat yang kebetulan menjadi pelanggan butik ibu saya, juga beli atau pesan tas Quntee dengan desain mereka sendiri. Mereka puas dengan hasil rancangan dan desain saya, karena kata mereka modelnya tidak pasaran,” cerita Anissa.

Sayangnya, dengan hanya dibantu satu penjahit, Anissa mengaku belum bisa memenuhi pesanan dalam jumlah besar. Untuk pesanan besar alias massal, Anissa hanya menerima untuk souvenir pernikahan dalam bentuk dompet kecil. Saat ini, dia hanya bisa menyelesaikan sekitar dua lusin tas berbagai tipe dalam seminggu. Rencananya, dia akan menambah satu lagi penjahit. “Memang susah cari tenaga penjahit, karena tidak semua penjahit bisa mewujudkan apa yang saya mau,” kilahnya.

Untuk harga jual, Anissa membanderol harga produknya mulai dari Rp75.000 (tas genggam) sampai Rp200.000 (tote bag, banyak dipakai untuk tempat laptop). Bila konsumen ingin membuat dengan desain sendiri, Anissa meminta ongkos tambahan membuat pola Rp25.000/desain.

Sementara untuk permodalan, pengusaha muda yang mengantungi omzet Rp8-10 juta sebulan ini masih mengandalkan modal sendiri dan pihak ketiga. Quntee tercatat sebagai mitra binaan PT Angkasa Pura. Dari Angkasa Pura, Quntee pernah mendapat suntikan modal usaha sebesar Rp15 juta sudah mendekati lunas. Tak hanya modal, Angkasa Pura juga membantu mempromosikan dan memasarkan produk mitra binaannya.

Dengan kondisi seperti saat ini, Anissa mengaku dirinya sebenarnya sudah cukup mendapatkan materi. Namun, sebagai seorang entrepreneur dirinya tak mau berhenti sampai disitu. Selain ingin menambah karyawan dan membuka toko lagi, Anissa juga ingin memperluas produknya. Tak sekedar memakai kulit sintetis, tapi juga memakai kulit asli.

“Saya ingin memadukan keduanya. Hasilnya adalah tas cantik, tapi harga terjangkau,” tandas dara yang segera mengakhiri masa lajangnya ini. $ AGUSTAMAN



Baca Selengkapnya..

Dulu Ngangtau Sekarang Juragan Konveksi

Diposting oleh Agustaman | 15.28 | 20 komentar »

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 05/September 2006)

Semula Hutomo Agus Puntoro hanya jadi makelar bahan pakaian untuk pengusaha konveksi. Tapi melihat untungnya lebih lumayan, dia beralih menjadi pengusaha konveksi pakaian senam. Omsetnya bisa sampai Rp100 jutaan

Siang itu di sebuah garasi di bilangan Kemang, Jakarta. Suara mesin jahit dan mesin obras terdengar seperti bersahut-sahutan. Lima orang penjahit yang kesemuanya lelaki terlihat sibuk dengan pesanan pakaian senam yang harus segera selesai sebelum pertengahan September 2006. Maklumlah, di pertengahan September sudah masuk bulan puasa. Di bulan itulah, para penjahit ini harus istirahat di rumah karena perusahaan konveksi tempat mereka bekerja libur selama bulan puasa.

“Ya, setiap bulan puasa Ramadhan kami memang tutup karena pesanan untuk pakaian senam berkurang bahkan tidak ada. Kalau belum ada pesanan menjelang puasa, kami biasanya hanya stok bahan saja,” papar Hutomo Agus Puntoro, pemilik konveksi pakaian senam “Tom’s Center Line” kepada DUIT!

Buat pria yang biasa disapa Tomo ini, berbisnis konveksi pakaian senam memang bukan pekerjaan baru. Sudah tiga tahun dia menjalani bisnis itu bersama seorang teman kuliahnya dulu di Fakultas Ekonomi Universitas Nasional, Jakarta. Tapi lewat bisnis rumahan itulah, Tomo berhasil mengumpulkan pundi-pundi jutaan rupiah ke koceknya. Padahal dia mengaku bisnis yang dilakoninya kini awalnya lebih karena melihat peluang usahanya yang lumayan. Belakangan, pilihan itu tidak sia-sia karena kini dia bisa meraup omset setidaknya Rp100 jutaan per bulan.

Tomo bercerita, awalnya dia hanya menjadi makelar bahan spandex (yang biasa dipakai untuk pakaian senam) ke sejumlah konveksi pakaian. “Istilah pedagang di Tanah Abang, saya ini ngangtau alias makelar,” ucapnya sambil tertawa. Profesi itu dijalani selama 6 bulan.karena pemasoknya (perusahaan importir bahan pakaian dari Korea) tutup, Tomo pun sempat kehilangan rezeki. Lalu kenapa akhirnya dia memilih bisnis konveksi pekaian senam.

“Kebetulan kakak saya juga sudah menekuni bisnis konveksi pakaian senam. Saya juga lihat-lihat dan tanya-tanya ke pengusaha konveksi yang saya pasok bahannya. Kesimpulannya, bisnis pakaian jadi hasilnya lumayan, enak dan pasti. Dari situlah saya mulai melangkahkan kaki menekuni bisnis itu,” jawab bapak satu anak yang membuka bisnis konveksinya mulai Juni 2003 dengan modal sendiri hasil tabungannya semasa ngangtau bahan pakaian dulu

Tomo memulai bisnisnya di rumahnya, di komplek perumahan di kawasan Ciputat, Tangerang. Dengan modal awal sekitar Rp45 juta, yang sebagian besar dia belikan mesin jahit satu set, mulailah Tomo mencari tukang jahit. Awalnya dia cukup memakai dua orang karyawan. Order pertama datang dari seorang temannya sesama penggemar kegiatan otomotif yang kebetulan membuka toko pakaian di pusat grosir pakaian Tanah Abang.

“Awalnya sih ada aja yang salah-salah sedikit. Ada yang jahitnya kurang rapi, ada juga yang katanya nggak enak kerasa di badan. Tapi justru dari kesalahan itu saya dan karyawan belajar banyak soal membuat pakaian senam ini,” tutur berusia 33 tahun ini.

Beruntung sang teman tadi tetap mempercayainya untuk memasok pakaian senam ke tokonya itu. Dari hanya pesanan setengah sampai 1 lusin, perlahan sudah mencapai angka 10 lusin/minggu. Bahkan belakangan, Tomo juga menemukan satu lagi pemesan yang membuka tokonya di ITC Mangga Dua, Jakarta. Maka jadilah kedua pemasan tadi partner bisnisnya yang setia sampai sekarang. Dalam sebulan, setidaknya 200 lusin pakaian senam dipasok Tomo ke kedua pemesan tadi. Soal merek, kedua pemesan tadilah yang menentukan. “Saya benar-benar tidak terima pesanan di luar pemesan tadi, karena dari keduanya saja sudah lumayan,” papar pengusaha yang mengaku tidak mau meminjam kredit dari perbankan ini.

Karena mulai banyak pesanan, selain sudah menamh karyawannya menjadi lima orang, Tomo juga sudah memindahkan “pabriknya” yang semula di rumahnya d Ciputat ke garasi milik partner bisnisnya di selatan Jakarta.

Meski pesanan cukup lumayan, toh dalam berbisnis Tomo tetap mengaku terkendala soal perputaran dana. “Pembayaran pesanan tadi kan memakai giro, kadang-kadang tiga bulan baru cair. Kadang pas waktu dicairkan dananya nggak ada, giro ditolak. Kalau sudah begitu toko biasanya ganti dengan cash. Tapi repotnya kalau puasa, karena libur sebulan, giro bisa hangus. Makanya untuk mengatasi saya terkadang tukar giro tadi ke teman atau saudara potong lima persen supaya dapat cash,” aku pengusaha yang ingin membuka bengkel otomotif ini.

Saat ini pasokan bahan Tomo sebagian besar diambil dari pabrik kain di Bandung. Dia bisa berbelanja dua minggu sekali dengan nilai belanja sekitar Rp26 juta-Rp30 juta. “Pakaian yang sudah jadi, saya jual sekitar harga Rp60.00 per stel,” kata Tomo yang menggaji anak buahnya Rp6000/pieces.

Dengan omzet sekitar Rp100 jutaan per bulan, Tomo yang berangan-angan punya showroom sendiri ini bisa menikmati hasil jerih payahnya itu Dua buah mobil dan sebuah rumah di kawasan Serpong, Tangerang diakunya sebagai bukti keberhasilan berbisnis ini. $ AGUSTAMAN

Baca Selengkapnya..

Mengubah Limbah Kayu Jadi Alat Kesehatan

Diposting oleh Agustaman | 14.35 | 2 komentar »

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 6/II/Oktober 2006

Dengan pengalaman dan keahliannya, Eno Suparno “menyulap” limbah kayu menjadi alat bantu kesehatan refleksi. Meski produknya banyak ditiru orang, tapi tak pantang menyerah.


Suatu hari di tahun 1990. Ketika itu seorang office boy sedang mengepel lantai di toko yang menjual alat-alat kesehatan. Entah karena kecerobohan si office boy atau memang gagang kayu pengepel itu yang sudah tua, alat pengepel lantai itu patah. Oleh Eno Suparno, kepala konter toko yang berlokasi di kawasan Glodok, Jakarta, potongan kayu itu tak segera dibuang. Potongan itu dirautnya dengan pisau dan dibentuk sedemikian rupa sehingga jadi alat akupunkur (refleksi) untuk telapak kaki.. Buat Eno, mengenal alat-alat kesehatan bukan hal baru. Selain punya keahlian pijat refleksi, kebetulan juga sudah lebih dari lima tahun dia menjaga toko yang menjual alat kesehatan buatan Jepang dan Korea. Sayangnya, semuanya memakai baterai atau listrik untuk mengoperasikannya. Jadi, sambil memegang potongan kayu pel tadi, dia membayangkan bisa membuat alat refleksi tanpa baterai atau listrik. “Pokoknya saya buat beberapa potong asal jadi. Saya buat sambil jaga toko,” kenang Eno

Potongan kayu yang sudah dibentuk dan jumlahnya tak lebih dari sepuluh tadi, dicoba ditawarkan sembunyi-sembunyi ke konsumen yang kebetulan menyambangi tokonya. Tak dinyana ada yang beli. Padahal dia hanya menjualnya Rp3000-Rp5000. Peristiwa itulah yang akhirnya membuat dirinya bertekad membuka usaha sendiri dan membuat alat kesehatan dari kayu secara massal. Lagi pula pria asal Ciamis, Jawa Barat ini sering melihat kayu-kayu limbah bekas potongan pembuatan furnitur di Klender, Jakarta Timur, tergeletak sia-sia. Tapi untuk membuat massal, dia terkendala tiadanya mesin bubut.

Dengan modal tabungannya yang tak seberapa, Eno merakit sendiri mesin bubut buatannya. Untuk mata bor, pertama kali dia pakai pisau dapur yang dibentuk sedemikian rupa, sedangkan penggeraknya dia pakai dinamo mesin jahit. Berkali-kali dia gagal membuat mesin itu. “Pernah satu bulan saya bisa habis 5 dinamo, karena gagal terus,” cerita Eno yang waktu itu mengerjakan mesin buatannya sepulang kerja di rumahnya kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.

Tapi Eno tak putus asa. Mesin bikinannya akhirnya bisa terwujud dan bisa menghasilkan 10-30 buah alat bantu kesehatan yang model dan bentuknya kreasi sendiri. Produknya lalu dijual di toko, tapi tetap sembunyi-sembunyi. Tapi lama-kelamaan pemilik toko tahu. Eno tak ditegur, hanya diminta tetap professional dan tidak merugikan usaha tokonya. Seiring berjalannya waktu, tahun 1993, tiba-tiba pemilik toko memutuskan menghentikan usahanya dan beralih ke fiber glass. Eno dipercayai meneruskan usaha dia di toko tersebut.

Seperti mendapat durian runtuh, Eno menyambut tawaran tersebut, karena dengan begitu dia bisa menjual produknya di toko itu. Dengan dibantu 2 kerabatnya sebagai karyawan, Eno mulai menambah variasi produknya. Dia pinjam kanan kiri tetangga, teman dan saudaranya untuk memperbesar usaha. Tak jarang, pinjamannya macet dan dia kerap ditagih paksa oleh si peminjam. Belum lagi soal pemasaran. Cukup lama produknya yang semula bernama “Aska” tak dikenal. Produknya lebih dikenal dengan merek orang lain karena dia memang hanya sebagai perajin.

Namun sekitar tahun 2000, dia mulai memperkenalkan nama usahanya dan brand produknya. Itu berkat jasa baik seorang tetangganya yang melihat potensi bisnis alat bantu kesehatan buatan Eno cukup prospektif. Atas namanya pula, si tetangga baik budi itu meminjam kredit ke bank untuk menambahi modal Eno sebesar Rp30 juta. “Dia sekarang sudah saya anggap sebagai bapak angkat,” papar Eno dengan mata berkaca-kaca.

Binaan UKM Jaktim


Secara kebetulan, tahun itu juga Lurah Halim yang baru melihat ada UKM yang potensial di wilayahnya. Produk Eno lalu diperkenalkan oleh sang Lurah ke acara-acara PKK Kelurahan Halim. Dari situ produk Eno melanglang buana. Bahkan dia diikutsertakan sebagai wakil Kelurahan untuk lomba UKM di Kecamatan. Hebatnya Eno jadi juara pertama. Pihak Kecamatan pun lalu mendaulatnya ke lomba tingkat Kotamadya Jakarta Timur. Eno memang tidak menjadi juara, tapi produknya sudah mulai dikenal.

Atas usul Ibu Camat, merek Aska diganti menjadi “Melati Health”. “Kata beliau supaya wangi seperti melati,” papar pria 52 tahun ini. Tak hanya mengganti merek, beberapa kejuaraan dan pameran dia ikuti. Tahun 2002 dan 2005 misalnya, dia meraih juara I UKM tingkat DKI Jakarta mewakili PKK Jakarta Timur, Kakek dua cucu ini juga sempet mencicipi pameran di Jakarta dan luar Jakarta atas nama UKM binaan Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) DKI Jakarta, kotamadya Jakarta Timur.

Tahun 2005, Eno dapat bantuan PKK Jaktim dan Dekranasda Jaktim untuk mempatenkan merek Melati Health-nya. Toh itu tak membuat produk Eno tak bisa ditiru. Di beberapa lokasi seperti Glodok dan beberapa lokasi lainnya, produk buatan Eno banyak dijumpai dengan merek lain. Namun Eno menanggapinya dengan besar hati. Katanya, bila hanya memproduksi tanpa tahu pemasarannya tentu percuma. “Buktinya setiap kali saya pemeran, tidak ada produk sejenis yang ikut dipamerkan. Jadi saya rasa persaingan belum ketat dan masih banyak peluang yang bisa dikerjakan. Saya pun siap berbagi ilmu. Bahkan kalau nanti produksi dan pemasarannya nggak jalan, kita bantu dan tampung. Jadi ada take and give lah,” ujar mantan tukang kredit barang keliling di tahun 80-an ini.

Dengan jumlah produk yang sudah mencapai 150 item, Eno melepas produknya mulai dari Rp10 ribu (untuk menghilangkan kelelahan mata) sampai Rp45 ribu (alat pijat clurit dari akar bahar). Semua pekerjaanya itu dilakukan oleh 12 orang karyawannya yang bekerja di samping rumah Eno. Bila ada pesanan besar dari toko atau luar Jakarta, Eno kerap memakai perajin dari daerah asalnya Ciamis. Mereka cukup mengerjakan di sana dan membawa hasilnya ke Eno di Jakarta.

Kini bapak dua putri ini cukup merasa lega, karena dari berbinis limbah kayu yang diubah menjadi alat bantu refleksi, Eno sudah bisa membeli rumah dan sebuah kendaraan yang dipakai dan beberapa motor untuk operasional para karyawannya. Seperti kata pepatah lama, disitu ada kemauan, disitu ada jalan, begitulah Eno Suparno menjalani kehidupannya sebagai perajin alat bantu kesehatan refleksi. $ AGUSTAMAN


Baca Selengkapnya..

Nikmatnya Roti Arab Buatan Rawabelong

Diposting oleh Agustaman | 14.26 | 2 komentar »

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 10/II/Oktober 2007)

Sudah lebih dari lima tahun Syarifah Azizah menekuni pembuatan roti cane alias roti maryam untuk melayani konsumen yang umumnya keturunan Arab. Kini dia siap memasukkan produknya ke hypermarket.

Buat orang kebanyakan, roti cane atau roti konde mungkin bukan nama yang aneh ketimbang nama roti maryam. Sebaliknya, buat orang Timur Tengah nama roti cane justru tidak dikenal. Mereka lebih mengenal nama roti maryam, karena konon pembuat roti yang sudah berusia ratusan tahun ini bernama Maryam. Roti cane atau yang dikenal sebagai roti maryam ini, memang bukan barang baru buat penikmat makanan dari Timur Tengah. Bahkan, sudah menjadi semacam menu “wajib” buat warga keturunan Timur Tengah sebagai pengganti nasi. Roti yang juga dikenal sebagai roti konde (karena bentuknya mirip gulungan konde rambut) ini biasanya disajikan dengan susu kental manis, keju, selai, meses, madu maupun gulai dan kare.

Buat sebagian besar warga keturunan Timur Tengah yang ada di Indonesia, membuat roti cane ini bukanlah yang sulit, dan dipastikan mereka bisa membuatnya. Hanya saja, kebanyakan untuk dikonsumsi sendiri. Kalau pun dijual, juga untuk kalangan terbatas, hanya komunitas warga Arab.

Tapi, ada satu warga keturunan Timur Tengah yang sengaja memproduksi roti cane dalam jumlah banyak dan menjualnya ke konsumen umum. Namanya Syarifah Azizah. Sejak sembilan tahun yang lalu, perempuan berdarah Arab kelahiran Aceh ini menekuni bisnis pembuatan roti cane.

Dari rumahnya yang terletak di kawasan Rawabelong, Jakarta Barat, perempuan yang biasa disapa Umi Ipah ini dibantu 15 orang karyawannya bisa memproduksi 500 buah roti cane setiap bulan. Produksinya sebagian dia titipkan di toko roti dan kue Abu Salim di kawasan Condet, Jakarta Timur serta satu toko roti di Tebet, Jakarta Selatan serta sejumlah restoran masakan Arab di Jakarta. Umi Ipah juga memasarkannya lewat pameran-pameran. Ada juga yang pelanggan yang langsung mendatangi rumahnya.

“Tak jarang, para pelanggan saya sendiri yang membawanya sampai luar negeri, misalnya ke Malaysia, Brunei dan Singapura,” kata Umi Ipah yang juga kerap menerima pesanan untuk acara pesta warga keturunan Arab di Jakarta dan sekitarnya ini kepada DUIT!.

Ketika memutuskan untuk memproduksi roti cane, ibu beranak empat ini (satu putrinya sudah meninggal) memang sudah punya bisnis katering. Di bawah bendera CV Abdi Walidain, Umi Ipah biasa memenuhi pesanan katering untuk pesta atau hajatan warga keturunan Arab. Diantara makanan khas Arab yang dipesan seperti nasi kebuli, kare kambing/ayam, samboosa, roti jala dan sebagainya, Umi Ipah kerap memasukkan roti cane pada menu katering.

Dari situlah produksi roti canenya mulai dikenal orang, tak hanya sebatas warga keturunan Arab di Jakarta tapi juga masyarakat umum, termasuk warga keturunan China.

“Roti cane buatan kami masih diproduksi secara handmade, tanpa pewarna dan pengawet. Rasa dan aromanya lebih menggoda ketimbang roti sejenisnya. Saya menjualnya dalam keadaan beku dan sudah 90% matang. Bisa awet 6 bulan bila disimpan dalam frezer. Untuk lebih meyakinkan konsumen, produk kami lengkapi dengan berbagai persyaratan kesehatan dan kebersihan,”promosi perempuan kelahiran 24 Desember 1950 ini.

Dengan mengusung merek Gadrie (diambil dari marga keturunan Arab yang berasal dari kata Al Gadrie), Umi Ipah mengemas roti cane dalam dua ukuran, yakni ukuran besar isi 5 pcs (750 gr) dan ukuran kecil isi 8 pcs (750 gr). Masing-masing harganya Rp30 ribu dan Rp35 ribu.

Di luar roti cane, Umi Ipah juga memproduksi makanan khas Timur Tengah lainnya, seperti sambossa, pastry, kebuli, roti jala, tepung bumbu kare dan sebagainya. Oh ya, untuk produk samboosa, Umi Ipah bisa memproduksi 100-200 per hari, yang dijual seharga Rp2.000-Rp3.000 per buah.

Siap Masuk ke Hypermarket

Pengusaha yang sejak satu tahun yang lalu menjadi mitra binaan PT Bogasari ini mengaku, lebih serius menekuni bisnis roti canenya. Hal itu dibuktikannya dengan membawa produknya ke uji laboratorium BP POM dan mengemasnya dalam kemasan plastik lengkap dengan barcode serta labal halal. Ini dilakukannya sebagai persiapan untuk memasaukkan produk roti cane Gadrie ke supermarket dan hypermarket ternama.

“Saya sudah melengkapi beberapa persyaratan untuk bisa masuk ke sana, seperti barcode, ijin depkes dan labelisasi halal. Tinggal menunggu lampu hijau dari pihak supermarket dan hypermarket saja,” papar Umi Ipah yang kini sedang merenovasi lantai dua rumahnya yang bisa menampung 50 pegawai khusus untuk membuat cane.

Di luar itu, Umi Ipah dan suaminya Syarief Buchari juga memproduksi jamu khusus wanita hasil ramuan turun temurun keluarganya sejak ratusan tahun silam dengan merek Pusaka Noor Athos. “Sementara ini, jamu dalam bentuk pil, bubuk, tepung dan kapsul dikirim ke Timur Tengah, khususnya Dubai sebanyak 2.000 kemasan per bulan. Kami mematok harga Rp45-50 ribu per kemasan botol isi 150 tablet,” ujar Umi Ipah yang mengaku bisa meraih omzet Rp20 juta/bulan dari semua usahanya tersebut.

Bagaimana dengan usaha kateringnya? Dengan kesibukannya sekarang memproduksi roti cane, nenek empat cucu tersebut mengaku membatasi diri dalam usaha keteringnya.

“Seiring bertambahnya usia, saya tidak kuat lagi. Karena kalau dapat pesanan katering untuk jam tujuh pagi, berarti saya harus menyiapkan sejak jam tujuh malam, sampai pagi tidak tidur. Sedangkan roti cane, kami membuatnya dari jam 6 pagi dan selesai jam 5 atau 6 sore, sehingga saya bisa istirahat pada malamnya,” terang Umi Ipah yang kini sudah menyiapkan anak lelaki bungsunya untuk meneruskan usaha yang sudah dirintisnya puluhan tahun silam. $ AGUSTAMAN


Baca Selengkapnya..

(Tulisan ini pernah saya tulis di majalah DUIT! edisi 7/II/Juli 2007)

Berawal dari keinginannya untuk bisa bekerja di rumah sambil mengawasi anak-anaknya, Nina Mariana Bastari berbisnis fashion dan interior decoration di rumah. Lewat usaha sulam pita Kreasiku, kini dia bisa mempekerjakan 25 orang dan meraih omzet rata-rata Rp15 juta per bulan.

Dari luar halaman, rumah yang terletak di ujung jalan H. Mustafa, di kawasan Kukusan Beji, Depok itu memang nampak sepi. Maklumlah, penghuni di dalam rumah yang berjumlah puluhan orang itu lebih banyak bekerja dengan tangan dan jari-jemari mereka. Pekerjaan mereka memang butuh konsentrasi dan kesabaran. Beberapa perempuan yang rata-rata masih ABG terlihat tekun menyulam pita menjadi rangkaian bunga di sehelai kain. Di sudut lain, dua karyawan pria juga sibuk menggambar pola sulaman di sehelai kertas minyak. Pola gambar itu nantinya bakal dijiplak ke kain-kain (antara lain sutra, katun, organdi) untuk kemudian disulam dengan pita satin, organdi, sutra organdi serta dengan benang sulam.

Si empunya rumah yang juga pemilik usaha sulam pita, Nina Mariana Bastari juga tak kalah sibuk. Sambil menggambar pola awal di sehelai kertas, sesekali Nina melihat hasil kerja karyawannya. Terkadang dia disibukkan dengan ulah anak terkecilnya yang berumur 4 tahun yang meminta sesuatu dari sang bunda. "Yah, beginilah kalau bekerja di rumah, kadang-kadang anak-anak suka grecokin (mengganggu, red.) ibunya. Tapi, saya enjoy aja karena memang saya tidak bisa jauh-jauh dari rumah mengurus suami dan anak-anak," kata Nina, pemilik usaha "Kreasiku" kepada DUIT!.

Sejak menikah dengan Djuaja Bastari, seorang pegawai PT Telkom, Nina mengaku memilih menyediakan waktu yang lebih untuk anak-anak dan suami ketimbang menjadi pegawai kantoran. "Pernah sih saya bekerja freelance dengan teman-teman di proyek properti. Tapi, karena harus ikut suami pindah-pindah tugas ke daerah, terpaksa berhenti bekerja. Akhirnya, waktu saya lebih banyak di rumah mengurus keluarga," sambung mantan alumnus Teknik Sipil Institut Sains & Teknologi Nasional (STTN), Jakarta ini.

Berawal dari waktu luang itulah Nina kemudian terfikir untuk membuat usaha sendiri di rumah. "Ceritanya ketika kami sekeluarga tinggal di Bogor, saya coba-coba membuat taplak meja, sarung bantal dan produk interior lainnya dengan bahan baku tenun Pekalongan. Semuanya saya desain sendiri, tapi penjahitannya diserahkan ke penjahit betulan. Saya lalu tunjukkan ke teman-teman. Ternyata mereka berminat dan membelinya. Sejak itu, saya serius menekuni usaha ini di rumah," kisah Nina.

Pada akhir 2001, Nina keluarga pindah rumah ke kawasan Beji, Kukusan, Depok, tak jauh dari kampus UI. Di sini, Nina masih meneruskan usaha tenun Pekalongannya. Sampai suatu saat di tahun 2002, Nina yang memang senang dengan kerajinan tangan ini mendapat informasi dari teman-temannya soal tren model busana baru di luar negeri yang menggunakan corak sulam pita. Informasi ini membuatnya tergerak ingin membuat usaha fashion dan interior decoration dengan memakai sulam pita.

"Dengan modal Rp5 juta pemberian suami, saya beli buku-buku dan literatur lainnya dari luar dan dalam negeri tentang sulam pita. Saya juga beli bahan-bahan seperti kain, benang dan pita untuk mempraktekkan apa yang saya baca. Karena dasarnya saya senang kerajinan tangan, proses pembelajaran itu terbilang cepat. saya mulai menguasai cara dan mencoba membuat beberapa produk jadi seperti kerudung dan sarung bantal dengan corak sulam pita," ujar ibu empat anak ini.

Dibantu satu asistennya, Nina mulai mengembangkan produk lainnya. Meski waktu itu Nina mengaku sulam pitanya masih bercorak standar, tapi sambutan dari teman-teman yang melihatnya terbilang positif. Seiring dengan mahirnya dia menyulam dan bertambahnya jenis produk yang dibuat, Nina yang mengusung merek Kreasiku mulai menambah tenaga kerja yang direkrut dari anak-anak putus sekolah di Tasikmalaya dan sebagian dari dekat tempat tinggalnya.

"Mulanya 5 orang, lalu bertambah jadi 12, 30, sampai 40 orang. Belakangan jadi 25 orang karena seleksi alam. Yang merasa tidak sabar, tidak telaten, akhirnya mundur teratur. Mencari SDM untuk usaha ini memang susah-susah gampang. Makanya, saya mengajari karyawan dengan manajemen hati, bukan uang. Selain perlu ketelatenan dan kesabaran, membuat produk handmade ini juga perlu sifat mencintai dan ikhlas. Dengan keikhlasan itu nanti ujungnya adalah hasil dan tentu saja uang," ujarnya berfilosofi.

Selain karyawan tadi, Nina juga dibantu Ita, sang adik yang mantan profesional bank, untuk mengatur cash flow keuangan serta seorang temannya yang kebagian untuk promosi dan pemasaran. "Tugas utama saya, tentunya selain sebagai ibu rumah tangga adalah konsentrasi di produksi dan pengembangan desain. Untuk urusan uang dan pemasaran, biarlah dijalankan oleh orang yang lebih kompeten di bidangnya," kata perempuan berdarah Makasar ini.

Dipesan Para Istri Pejabat Tinggi

Dengan pola kerja seperti di atas, saat ini Kreasiku bisa menghasilkan ratusan corak sulam pita di atas produk mulai dari kerudung, kain, busana muslimah, tas perempuan, sepatu, tempat tissue, tas HP, sarung bantal, bed cover, hiasan dinding sampai kap lampu. Agar tidak monoton, Nina menambahkan manik-manik pada kerajinan sulam buatannya.

Lewat patokan harga jual mulai dari Rp50 ribu (tas HP) sampai Rp2 juta (bahan/kain), produk Kreasiku dipasarkan lewal mulut ke mulut, dari satu teman ke teman lainnya. Pameran? "Ajang pameran pertama kali yang saya ikuti baru Inacraft 2007 lalu. Walaupun pertama, hasilnya alhamdulillah lebih dari Rp15 jutaan, itu di luar perhitungan kami. Malah dari ajang itu, kami mendapat pesanan dari Perancis," kata Nina yang stand-nya mendapat penghargaan sebagai Stand Terbaik ke-2 di Inacraft 2007.

Produknya "yang terbang" ke luar negeri memang bukan pertama kalinya. Nina mengaku, lewat teman-temannya yang memesan dan membawanya ke luar negeri, produk Kreasiku sudah merambah negeri jiran, seperti Malaysia dan Singapura. Bukan itu saja. Kain sulam pita Kreasiku ternyata juga kerap jadi pesanan para istri pejabat tinggi negara dan istri pengusaha yang lalu diubah menjadi pakaian resmi mereka ketika menghadiri suatu acara.

"Konsumen saya sepertinya kebanyakan kaum ibu paruh baya, terutama untuk produk kain. Ada juga pembeli yang lalu menjual produk saya di butik. Selebihnya, konsumen beragam dan datang ke rumah saya dari berbagai tempat, termasuk luar Jabodetabek," ujar perempuan berusia 42 tahun ini.

Dalam sebulan, Kreasiku bisa menghasilkan sekitar 100 pieces kerudung dan 50 pieces kain/bahan (termasuk untuk bahan sepatu, kap lampu, sarung bantal dll). Untuk beberapa proses pembuatan, Nina 'melempar' produknya ke tukang jahit sepatu (untuk produk sepatu) dan ke penjahit lainnya untuk sarung bantal, bed cover, tas, dan sebagainya. Begitu juga untuk frame hiasan dinding. "Tapi, khusus hiasan dinding sulam pita, saya sendiri yang mengerjakan. Ini tidak bisa saya delegasikan, karena butuh sentuhan seni tersendiri," papar Nina yang mengaku mencari bahan-bahan baku produknya ke Pasar Mayestik, Kebayoran Baru, Jakarta ini.

Di rumah asrinya yang berdiri di atas lahan 700 m2, Nina berencana ingin mengembangkan rumahnya sebagai workshop sekaligus butik. Nina berharap usahanya bisa banyak menyerap tenaga kerja, terutama anak-anak putus sekolah dan ibu-ibu rumah tangga yang ingin mencari penghasilan tambahan buat keluarganya. Bahkan, sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas rezeki yang diterimanya, Nina bersama kerabat dan temannya membuat Yayasan Baitul Mukhlisin di kawasan Sawangan, Depok untuk membantu anak yatim dan kaun dhuafa.

"Ini bagian kewajiban saya membayar zakat," ucap Nina yang bisa meraih omset rata-rata Rp10-15 juta per bulan ini mengakhiri ceritanya. $ AGUSTAMAN.

Baca Selengkapnya..