Setelah mengalami beberapa fase perubahan semenjak didirikan tahun 2002, Dewi Sambi Tenun mulai berkembang untuk menerima pesanan grosir dalam jumlah besar dari beberapa toko/kios di sekitar Jakarta.
Anda yang warga Jabodetabek, mungkin pernah mendengar nama Cipadu. Ya, kawasan yang berada di Kecamatan Ciledug, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten tersebut sudah lama dikenal sebagai sentra produsen dan perdagangan kain, pakaian dan aneka kerajinan tangan berbahan baku kain.
Nah, kalau kebetulan Anda berkunjung ke sana mungkin bisa menemukan sarung bantal, ataupun gorden buatan Dewi Sambi Tenun yang dijajakan beberapa pedagang di sana. Namun, kalau Anda ingin membeli dalam jumlah banyak alias grosiran, datang saja ke tempat produksinya di Jl. Taman Asri Lama, tak jauh dari sentra kulakan kain Cipadu.
Lokasinya mudah ditemukan karena di tepi jalan raya. Cukup mencolok dengan warna kuning cerah serta tulisan besar “Dewi Sambi Tenun” di depan rumah.
Di tempat itulah, si empunya rumah menempatkan 40 karyawannya untuk memproduksi aneka kerajinan tangan berbahan baku tenun dan batik. Tak hanya tempat memproduksi, tapi ada juga ruang pamer dan penjualan produk.
“Tempat ini kami tempati dan bangun sejak 2005 lalu. Lahan seluas 200 meter persegi ini dibeli dari hasil jerih payah kami berjualan aneka ragam kerajinan dari tenun dan batik ini,” terang si empunya rumah dan pemilik Dewi Sambi Tenun (DST), Wijiastuti alias Uthie kepada DUIT1
Uthie memang pantas bangga dan bersyukur dengan usaha yang dirintisnya dari rumah kontrakan. Bagaimana tidak, setelah mengalami beberapa fase perubahan sejak didirikan tahun 2002 silam, dimulai dari hanya menerima pesanan perorangan dan dengan satu orang karyawan, kini sudah punya 40 orang karyawan untuk melayani pesanan grosir dalam jumlah besar dari beberapa toko/kios di sekitar Jakarta.
“Sejak kecil saya memang sudah tinggal di Cipadu. Awalnya kawasan ini berkembang menjadi sentra kulakan kain untuk menyaingi kulakan kain di Cipulir dan Ciledug> Tapi saya lihat kebanyakan pedagangnya menjual kaos dan kain. Belum ada yang jualan
kerajinan tangan berbahan baku tenun atau batik. Kebetulan, waktu kuliah saya pernah ikut seminar yang intinya tenun masih punya peluang untuk dikembangin jadi bisnis lain,” papar alumnus Universitas Negeri Jakarta jurusan Tata Busana ini.
Dari situlah Uthie mulai tergerak untuk memulai usaha. Atas seijin suaminya, Dwi Mintiarto, Uthie menggunakan uang tabungannya sebesar Rp3,5 juta untuk membeli bahan baku tenun dan batik dari perajin di Pekalongan, Yogyakarta dan Malang. Bahan baku itu kemudian dia jahit menjadi gorden. Hasilnya, dia pamerkan ke beberapa tetangga dan ke beberapa penjual kain Cipadu. Tak dinyana, sambutannya cukup bagus. Bahkan ada yang memesan, meski belum dalam skala besar.
Uthie yang saat itu masih tinggal di rumah kontrakan, kemudian merekrut satu orang penjahit untuk membantunya. “Waktu itu memang ada satu grosir yang awalnya memesan dalam jumlah lumayan. Tapi, lama-lama kok saya merasa ditekan oleh si grosir tadi. Dia juga suka bayar telat. Akhirnya saya putar haluan, jualin produk saya ke beberapa pameran yang biasanya diadakan beberapa perkantoran dan mal di Jakarta,” kisah perempuan berusia 29 tahun ini.
Memasok ke Toko Grosir
Titik balik usahanya mulai kelihatan ketika dia mengikuti pameran Gelar Tenun 2003 di Hotel Sahid, Jakarta. Pembelinya tak hanya orang Indonesia, tapi juga para ekspatriat dan orang asing yang kebetulan menginap di sana. Dari situ, Uthie yang mengusung nama usaha “Dewi Sambi Tenun” lalu mengikuti even-even pameran lainnya. Langkah ini membuat usahanya kian dikenal orang. Tak sedikit yang memesan langsung ke rumahnya.
Karena pesanan mulai banyak, Uthie mulai menambah karyawan. Sang suami yang sebelumnya bekerja di perusahaan swasta, dimintanya mengundurkan diri untuk membantu dirinya yang mulai kewalahan mengembangkan produksi dan desain. Produk yang awalnya hanya gorden, juga mulai dikembangkan untuk memenuhi permintaan. Ada tutup tissue, sarung bantal, tempat koran, tas mungil, tempat laundry, looper, taplak meja, tutup galon, placemate, keset, dan lampu. Semuanya tetap memakai bahan baku tenun kain, batik dan ditambah tenun eceng gondok.
Dia juga rajin ikut pameran kerajinan dengan skala besar seperti Inacraft, ICRA, Indonesia Expo, Pekan Raya Jakarta dan beberapa Expo di Batam, Bali dan Bandung. Pameran di luar kota tadi, membuat DST kebanjiran pesanan.
Di luar pameran, DST juga memasok produknya ke beberapa pedagang retail dan grosir seperti di Cipadu, Pondok Gede, Tamini Square, Mangga Dua, Pusat Grosir Cililitan (PGC), ITC Depok, dan Depok Town Square (Detos). Belakangan DST juga mengembangkan sendirinya outlet-nya di beberapa tempat di Jakarta (Melawai Plaza, Gajah Mada Plaza, Slipi Jaya, Atrium Senen), Tangerang (WTC Matahari Serpong, Bintaro Plaza).
Uniknya, beberapa orang juga memasarkan produk DST lewat cara mereka sendiri. Ada yang lewat internet (internet marketing), ada pula yang menjual langsung. Siska Hapsari misalnya. Perempuan yang juga anggota komunitas bisnis TDA ini menjual produk DST lewat blog. Dia menawarkan peluang untuk menjadi reseller produk DST dengan iming-iming diskon 20% bagi yang membeli paket full set DST. Ada juga tawaran di internet untuk menjadi member DST Club.
Soal ini Uthie menjawab enteng,”Alhamdulillah kalau banyak orang yang dengan caranya sendiri memasarkan produk DST. Ini malah membantu kami, tanpa kami harus keluarkan ongkos promosi”. Asal tahu saja, untuk beberapa pembeli tadi, ada yang beli putus, ada juga yang membayar tempo satu bulan (terutama grosir).
Dengan mematok harga mulai dari Rp10 ribu (tas mungil) sampai Rp150 ribu (lampu hias), Uthie mengaku bisa mengantungi omzet Rp20 juta-Rp300 juta sebulan.
“Produk kami memang dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang interior yang bernilai seni dan berkualitas dengan harga terjangkau,” kata ibu dua anak yang kini sudah punya rumah sendiri di Perumahan Taman Asri, Cipadu plus 2 buah kendaraan roda empat dan beberapa motor untuk operasional karyawan. $ AGUSTAMAN